15 | Aksioma

32 31 0
                                    

"Apa kamu tahu, Vel? Dari sembilan orang yang ada di foto kenang-kenangan ini, hanya kamu satu-satunya yang bisa saya temui keberadaannya. Sedangkan untuk delapan temanmu yang lainnya, mereka menghilang bak ditelan oleh bumi."

Aku tersenyum keki lalu terkekeh setelahnya. "Apa yang barusan Anda katakan? Delapan teman saya menghilang? Bagaimana bisa?"

Ajun Inspektur Dwiangga menghela napas panjang. "Harusnya pertanyaan itu saya ajukan ke kamu, Marveliano. Bagaimana bisa tubuh teman-temanmu yang sudah disemayamkan di pemakaman menghilang begitu saja?"

Aku termangu beberapa saat. "Hah?Disemayamkan di pemakaman? Apa barusan Anda mengatakan bahwa teman-teman saya sudah tiada?"

Ajun Inspektur Dwiangga berdecak ketika mendengar jawabanku. "Berhentilah berpura-pura, Marveliano. Apa kamu tidak lelah lari dari kenyataan seperti ini terus menerus? Katakan saja sejujurnya pada saya, di mana kamu menyembunyikan jasad teman-temanmu?! Asal kamu tahu saja, saya sama sekali tidak takut untuk menegakkan keadilan walau harus berhadapan dengan ayah kamu yang merupakan salah satu anggota penting di negara ini!"

"Demi Tuhan, saya nggak tau, Pak! Selain itu, saya nggak mungkin tega membunuh teman-teman saya sendiri karena mereka sudah saya anggap sebagai keluarga!"

"Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam tindakan kejahatanmu ini, Vel," ucap beliau sambil menatapku tidak suka. "Kamu punya motif untuk menjadi tersangka dalam kasusnya delapan mahasiswa yang menghilang secara misterius setelah kematian masing-masing."

"Jika memang saya punya motif, katakan. Katakan apa motif saya hingga berani bertindak di luar nalar?!"

Ajun Inspektur Dwiangga tersenyum culas. "Jika saya mengatakannya, apa kamu sudah siap untuk menanggung konsekuensinya ketika semua bukti yang ditemukan mengarah kepadamu, Marveliano?"

...

...

...

"Vel?"

Refleks aku mengerjapkan mata ketika namaku dipanggil. Atensiku yang sedari tadi kosong karena pikiran yang sibuk pergi menjelajahi antah-berantah beberapa hari ini, membuat kadar oksigen dalam kepalaku berkurang dan berakhir dengan fokusku yang acapkali goyah.

"Hah?" sahutku yang langsung bergegas bangun dari kursi untuk mendatangi Hakim yang terbaring lesu di atas ranjang pribadinya. "Ada apa panggil aku, Kim? Butuh sesuatu, ya?"

Hakim menggeleng singkat lalu mengarahkan jari telunjuk kanannya ke arah ponsel yang terus bergetar dan berdering kecil di atas nakas. "Nggak kasian sama ponsel sendiri yang dianggurin dari tadi?"

"Oh, iya, kah?" Marvel buru-buru mengambil ponselnya lalu mengubahnya ke mode hening dan meletakkannya kembali ke posisi semula.

"Lagi berantem sama pacarmu, ya, Bro?"

Aku terkekeh kecil. "Nggak punya pacar mau berantem gimana?"

"Kalau bukan pacar, berarti lagi berantem sama anak-anak indekosmu? Iya, kan?"

Skakmat! Pertanyaan Hakim membuatku mati kutu karena tepat sasaran. Sepertinya kata 'berantem' kurang cocok untuk disematkan pada hubunganku dan teman-teman indekosku saat ini, lebih tepatnya, memang aku pribadi yang menghindari komunikasi dengan mereka semenjak akhir pertemuanku dengan salah satu aparat kepolisian yang membuatku naik pitam dan kehilangan akal sehatku secara berkala. Siapa lagi kalau bukan Ajun Inspektur Dwiangga? Saking kesalnya, sudah tidak terhitung berapa kali sosok pemilik nama itu terngiang-ngiang terus di kepalaku seperti teror berantai.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now