23 | Tabir Ilusi Jehan

17 27 0
                                    

Rumah indekos yang terasa ramai, kini hanya menyisakan dua pemuda saja dalam kesepian. Di dalam kamar, pikiranku terbayang-bayang akan ucapan Mahendra yang mengatakan bahwa kecurangan yang berhasil bisa mengembalikan keadaan kembali seperti semula. Awalnya, aku meragukan hal itu. Namun, melihat antusias Mahendra yang begitu membara ingin menghabisi nyawaku membuatku sadar bahwa ia tidak main-main dengan ucapannya.

"Haruskah aku melakukan kecurangan itu?" tanyaku ragu pada diri sendiri.

Belum selesai dengan pikiranku yang berkelana liar, kegelapan kembali menyambutku yang baru saja membuka pintu kamar.

Sial, umpatku dalam hati. Mengapa aku harus melihat kilas balik kehidupan teman-temanku di saat waktu yang gak tepat? Demi apa pun, aku lapar sekali!


●●●


"Bagaimana cara menghentikan permainan ini?"

Dalam gelap, samar-samar bisa kudengar suara yang familier di telingaku, Ini suara Kak Jehan, kan?

"Aku gak bisa membiarkan permainan ini mengambil alih nyawa seluruh temanku! Tuhan, berikan aku langkah yang baik."

Bersamaan dengan atensiku yang terbuka lebar, bisa kulihat dadu mini berbentuk piramida segitiga baru saja dilemparkan ke atas papan permainan kayu Hantupoli oleh Jehan. Baik Jehan atau aku, jantung kami sama-sama berdebar menyaksikan dadu yang bergulir hingga berhenti menunjukkan angka tiga dalam aksara jawa.



Pion berwarna biru yang bergeser sebanyak tiga langkah begitu lambat, membuat Jevan cemas. Terlebih lagi ketika pionnya ternyata berhenti pada sebuah kolom dengan gambar ular yang memanjang ke bawah, pertanda bahwa pionnya harus turun banyak kolom. Melihat kemenangan makin jauh di depan mata, membuat Jehan menghela napas panjang. Setelah dibuat berdebar tidak karuan, Jehan dihadapkan dengan keputusan berat untuk memilih salah satu kartu di antara tumpukan kartu segitiga warna biru atau merah. Bisa kulihat Jehan menimang-nimang keputusannya dengan hati-hati, hingga pilihannya jatuh untuk mengambil kartu yang memiliki warna serupa dengan pionnya, yaitu biru. Dengan perasaan harap-harap cemas, Jehan membalik kartu tersebut dan melihat kalimat yang membuatnya termenung beberapa saat. Jiwa penasaran yang tak terbendung, membuatku diam-diam mengintip isinya.

"Sing kok wedeni yaiku kemenanganmu," ucapku, sambil berusaha mencerna apa maksudnya. "Artinya apa?"

Disaat aku berusaha menerka-nerka apa arti dari kartu milik Jehan, pandanganku terpaku pada pintu kamar mandi yang tiba-tiba saja terbuka dengan sendirinya. Setiap gerakan lambat yang menimbulkan bunyi derit, terasa teramat berat dan menakutkan di runguku. Belum lagi, gemerisik air yang memenuhi bak mandi hingga penuh dan merembes hingga mengecoh batas-batasannya, membuatku merinding karena suara gemerisik yang menggema di dalam ruang kamar mandi.

Dari sudut pandangku, aku menganggap hal ini sebagai bentuk dari pemborosan air. Namun, di sisi lain, bisa kulihat sosok Jehan yang duduk bersila di sampingku terlihat pucat tak berdaya, seolah-olah ia melihat sesuatu yang menyeramkan di dalam kamar mandi sana. Ingin sekali aku mengejeknya karena bertingkah tidak jelas, tetapi tiba-tiba saja aku teringat akan wujud Jehan sesungguhnya ketika ikat rambut Marvella kulepaskan secara sengaja. Tubuh Jehan terlihat pucat pasi dan basah kuyup.

Aku mengamati tatapan mata Jehan yang terlihat kosong, Apa yang kamu takutkan, Kak Je?

Terlintas sebuah ide dalam benak untuk melakukan hal serupa. Secara perlahan, aku melepas ikat rambut kembaranku. Dalam sekejap, sebuah bayangan gelap samar-samar mulai terlihat. Hitungan sekon ke depan, bayangan gelap tersebut berubah menjadi wujud seorang laki-laki remaja dengan setelan seragam SMA terlihat tak bernyawa di dalam bak air berwarna merah. Melihat adanya sebilah pisau yang tergeletak di lantai kamar mandi, membuatku mengerti apa yang membuat Jehan tak berkutik di posisinya.

"Kak Jehan, tolong aku ..., dingin."

Sayup-sayup terdengar suara lirih yang memanggil Jehan dari dalam kamar mandi. Bisa kulihat posisi duduk Jehan menegang seketika ketika mendengar suara tersebut. Menyadari ada yang tidak beres dengan hal ini, aku bergerak masuk ke dalam kamar mandi. Memberanikan diri untuk mendekati jasad seorang remaja laki-laki yang terendam di dalam bak mandi. Ketika tidak ada lagi jarak yang tersisa, sepasang mata bolaku membola sempurna ketika melihat remaja laki-laki dengan seragam sekolah ini adalah aku. Menyadari itu membuatku gemetar ketakutan dan beringsut-ingsut menyeret tubuhku menjauh. Akan tetapi, sebelum sempat mengambil langkah pergi, tubuhku ditarik secara paksa masuk ke dalam bak mandi air yang sudah berubah warna menjadi kemerahan.

Setelah itu, aku tidak bisa menebak apa yang terjadi. Kesadaranku menghilang. Sepenuhnya.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now