5 | Ragawi Tak Kasatmata

61 45 33
                                    

Tok tok tok

"Marvel ... sarapan, yuk? Bunda sudah siapin nasi ulam kesukaan kamu, Nak."

Sudah tidak terhitung berapa kali rungu ini menangkap suara pintu kamarku yang diketuk berulang dari luar sana. Namun, bukannya beranjak untuk membukakan pintu dan membiarkan bunda masuk, aku malah memilih untuk mengurung diri di dalam kamar. Kutarik selimut yang sudah menutup seluruh tubuhku itu jauh lebih erat, hingga rasanya ruang untuk bernapas jauh terasa lebih sempit dan menyesakkan daripada sebelumnya.

"Marvel ... bunda kangen sama kamu, Nak. Sampai kapan kamu akan mengurung diri?" tanya bunda terdengar lirih di luar sana.

Aku tidak tahu, Bunda ... aku takut, jawabku dalam hati.

Walaupun lirih, terdengar suara isak tangis di depan pintu kamarku. Lagi-lagi aku bersikap kurang ajar, membuat bunda menangis untuk kesekian kalinya karenaku.

"Marvel," panggil bunda sekali lagi lalu bertanya, "Apa yang membuatmu takut dan memilih untuk mengisolasi diri, Sayang?"

Aku meneguk salivaku lalu kembali menjawabnya dalam hati, Mereka ... mereka yang tak kasatmata, Bunda.

Jemari tanganku bergerak untuk menurunkan sleep eye mask berwarna biru benhur. Sekon ke depan, aku mulai menurunkan selimut yang menutupi kepalaku sampai bagian bawah mata. Helaan napas panjang lolos begitu saja dari mulutku ketika mengetahui bahwasanya tidak ada lagi ruang untuk bergerak bebas yang tersisa di dalam kamarku. Seluruh ruang telah diisi oleh makhluk-makhluk tak kasatmata yang entah dari mana asal-usulnya.

Mereka masih saja mengikutiku sejak kepulanganku dari rumah sakit dua hari lalu. Bahkan jumlahnya pun bertambah makin banyak seiring berjalannya waktu. Apa yang mereka lakukan di sini? Apa yang mereka mau dariku?

Bulu kudukku sama sekali tidak bisa absen sejenak untuk tidak meremang. Tentu saja hal itu lumrah terjadi padaku yang masih awam akan hal yang bersangkutan dengan entitas lain. Bagaimana bisa aku bersikap biasa saja, ketika beragam jenis makhluk tak kasatmata berada di sekitarku secara tiba-tiba? Bagaimana bisa aku bersikap seolah-olah tak melihatnya ketika mereka berpenampilan mencolok yang membuatku secara bersamaan merasa ngeri? Tidak hanya itu, bagaimana bisa aku bersikap layaknya manusia normal ketika salah satu dari mereka-yang tak kasatmata-secara terang-terangan memposisikan wajahnya yang melepuh dan pucat pasi itu tepat di depan wajahku, ketika aku baru saja kembali dari alam kapuk?

Dua hari yang berlalu, rasanya seperti seabad. Terasa begitu lambat. Saking lambatnya, aku bisa merasakan sekon demi sekon yang berlalu, bagai menjemput mimpi buruk yang tiada henti.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku, Tuhan?

Lagi-lagi monolog tanpa adanya jawaban tersebut kembali muncul, mempertanyakan atas ragam kejadian ganjil yang terjadi dalam kurun waktu singkat. Tiba-tiba saja sejak kejadian di rooftop-yang mana aku nyaris mengakhiri hidup dengan meloncat dari atas sana-beberapa waktu lalu, mataku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia normal pada umumnya. Dokter bilang bahwa aku mengalami gangguan mental yang ditandai oleh ilusi atau halusinasi yang berakhir dengan kegelisahan fisik atau lebih akrabnya dalam dunia medis disebut dengan delirium. Beberapa macam obat yang diresepkan dokter untuk meredam gejala-gejala gangguan mental tersebut, mulai dari antipsikotik, benzodiazepin, hingga obat penenang, sama sekali tidak membuahkan hasil. Aku tetap bisa melihat ragam makhluk tak kasatmata. Sejak itu, aku meyakini bahwa ada faktor lain yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu terbukanya mata batinku.

Tok tok tok

"Berhentilah bersikap manja, Marvel. Apa kau tidak kasihan dengan bundamu?"

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now