42

494 52 2
                                    

“Liat nak, kata ayah kamu nanti kalau mama meninggal juga, mama dimakaminnya di samping dia, terus di samping ibu Abang kamu dan kamu di samping ayah, menantu-menantu nya nanti di samping kalian, sedangkan cucu-cucunya masing-masing akan ada di atas dan di bawah lalu mantu cucu, cicit dan begitu seterusnya. Ayah kamu bahkan udah pesen jangan sering-sering dateng, datengnya kalau mau kenalin anggota keluarga baru aja karena katanya ayah juga mau kenalan”

Ibu menarik nafas panjang, air mata nya kembali jatuh namun bibirnya dipaksa tersenyum sambil memandang makam ayah yang masih basah. Hanya ada aku, ibu dan Abang, para pelayat lain sudah pulang, begitu juga teman-teman ku yang ku suruh duluan karena kata ibu dia masih ingin sedikit lebih lama disini.

Abang sejak tadi tak melepas tangan ibu barang sedetik pun, meski wajahnya terlihat lelah karena belum istirahat sama sekali namun dia tetap berada di dekat ibu.

Sudah tiga tahun kami tidak bertemu dan dia terlihat lebih dewasa.

“Ayah kalian orang baik nak, pas dia sakit dia nggak mau kalian ikut susah, dia nggak mau kalian kehilangan masa bahagia hanya karena memikirkan dia yang semakin memburuk setiap harinya. Bertahun-tahun dia menanggung semua rasa sakit itu sendirian, berjuang di tiap nafas nya yang semakin sulit demi bisa melihat kalian tumbuh”

“dia marah setiap kali ibu bilang akan memberitahu semua pada kalian, dan dia selalu berusaha membuat ibu pergi tapi ibu yang selalu melawan. Pernah sekali dia sampai memohon agar membawa kalian pergi dari rumah namun ibu bersikeras dan berakhir harus merelakan Jungwoo pergi”

Kini ibu beralih menatap wajah bang Jungwoo, kedua tangannya memegang wajah anak sulungnya itu

“Maafin ibu ya nak, kamu pasti kesulitan hidup sendirian selama ini, tapi ayah udah janji kamu nggak akan hidup susah makanya mama injinin kamu memulai hidup di luar, Jeno juga, maafin ayah ya nak kalau kamu nggak dapat figur seorang ayah selama ini, karena keadaan kamu harus hidup dalam kecemasan setiap hari, tapi Ibu bersumpah nggak ada yang lebih ayah kalian sayangi di dunia ini selain kalian, tiap nafas terakhirnya dia hanya mengucap nama kalian, ayah kalian hanya seorang ayah yang tidak ingin anaknya kesulitan mengurus dia yang sakit, dia hanya ingin kalian menjalani hidup bahagia”

Aku, tak bisa menafsirkan perasaanku. Perasaan bersalah, kecewa dan marah bercampur jadi satu. Ternyata aku sebagai seorang anak tak pernah bisa berbakti pada ayah, saat dia sakit aku malah tidak tau dan hanya menganggap dia sebagai orang jahat. Pun aku kecewa kenapa ayah malah memilih menanggung sakitnya sendirian daripada mempercayakan semua pada anak-anaknya ini. Padahal kalaupun dia sakit, kami akan selalu ada disampingnya, apapun akan aku lakukan kalau itu bisa membuatnya bertahan lebih lama.

Tapi ayah tetaplah ayah, laki-laki keras kepala yang tidak pernah ingin terlihat lemah di depan kami, maka tak heran kalau selama ini tak nampak sedikitpun tanda-tanda kalau dia sakit.

“tapi mulai sekarang kita akan hidup bertiga, seperti janji ibu pada ayah kalian, ibu akan menjaga kalian dengan baik sampai nanti ibu menyusul ayah”

“Bu.....”

“nggak ada lagi yang ibu khawatirin sayang, melihat kalian tumbuh lalu kembali abadi sama ayah adalah satu-satunya masa depan yang ibu punya”

.....

“huft gabut banget deh nggak ada Karina”

Giselle menumpu wajahnya dengan sebelah tangan, di depannya ada Winter dan Ningning sedang lomba menyeruput es jeruk sampai habis

“NINGNING MENANG WUHUUU”

“ah anjir sesek nafas gue”

Yap, Ningning menang dan taruhan semangkok mie ayam terakhir buatan Bu Ani menjadi miliknya.

4WallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang