Yang Tak Tertulis dalam Laporan

134 18 43
                                    

Pemandian air panas ini tak sebagus bayanganku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pemandian air panas ini tak sebagus bayanganku.

Terlalu banyak orang, terlalu sedikit ruang di kolam. Ditambah sekarang musim liburan. Secara rasio, kepadatannya melebihi Jakarta. Oke, mungkin aku lebai. Namun, orang paling ekstrover sekalipun bakal risih kalau harus berenang berdesak-desakan dengan orang asing di tempat terbuka. Apalagi aku.

Tahu begini, apa bedanya dengan wahana kolam renang di dekat rumah? Pemandian air panas harusnya jadi tempat beristirahat yang santai dan tenang. Aku bertaruh ada pengunjung yang tidak hanya mandi, tapi juga kencing sembarangan. Daki mereka juga luntur ke mana-mana. Airnya sampai keruh begitu.

"Grey, nggak ikut mandi?" tanya Ibu.

Aku menggeleng tegas. Ibuku meringis, mencoba tersenyum, tapi aku tahu beliau juga jijik.

Ekskul jurnalistik (baca: Klub Jurik) memberiku tugas untuk mencatat pengalaman saat liburan. Sampai sekarang aku belum menulis apa pun soal kondisi tempat ini. Mau jujur, nanti pencemaran nama baik. Mau bohong, bingung juga. Jika saja pengunjungnya tak sebanyak ini, pemandian ini lumayan nyaman. Dulu aku dan Ibu pernah mengunjungi tempat ini saat sepi.

Haruskah kutulis pengalamanku pada kunjungan sebelumnya? Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sarana dan prasarana telah jauh berubah. Alin, si editor cerewet, juga menyuruhku merekam dan memotret. Dia pasti bakal ngomel-ngomel kalau tulisanku tak sesuai dengan hasil jepretan.

Ada satu fasilitas baru yang belum pernah kulihat: kamar mandi eksklusif. Maksimal hanya dua orang yang boleh masuk bersamaan. Namun, kebanyakan peminatnya adalah orang-orang tua berpenyakit kulit.

Kuajak Ibu keluar. Meski airnya terus mengalir dan tampak lebih bersih daripada kolam di luar, pikiranku tetap kotor. Bukan, bukan kotor yang itu. Sudahlah. Internet membuat arti kata yang harfiah tetap terasa ambigu.

Kami berjalan menyusuri mata air panas, menjauh dari pusat pemandian. Makin tinggi undak-undakan yang kami pijak, makin sedikit wisatawan yang kami temui. Pohon-pohon pinus tumbuh berjajar di sepanjang jalan setapak. Getahnya ditampung batok-batok kelapa yang terpasang rapi di bagian batang.

Di sini lebih tenang. Sejauh mata memandang, hanya ada hutan homogen, perbukitan, dan gunung yang masih tertutup awan. Tak ada yang istimewa, yang membuatku takjub hingga lari setengah telanjang sambil mengatakan, "Eureka!". Namun, ini berlipat-lipat lebih baik daripada lautan manusia di bawah. Alam tak butuh kata-kata manis dan kosmetik mahal untuk menjadi indah.

Kupotret setiap monyet dan lutung yang kutemui. Kuunggah dan kusebut akun instagram Red dan Alin, sambil mengklaim telah menemukan saudara mereka.

Di atas bukit, terdapat tanah lapang yang cukup luas untuk area perkemahan. Sisi-sisinya dipagar dengan terali besi yang diselimuti tumbuhan rambat berduri. Sebuah vila megah menjulang di latar belakang. Sesosok cewek pendek mengintip dari balik pintu gerbang.

"Grey?"

Aku pura-pura tak dengar.

"Grey!"

Dia malah tambah antusias.

Buku Belajar MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang