You'll Never Walk Alone

59 12 7
                                    

Tebak mana yang saya dapat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tebak mana yang saya dapat

***


Kesan pertama mengobrol dengan Grey, aku seperti berbicara dengan orang yang meninggalkan otaknya di atas awan.

Tingkahnya kikuk dan malu-malu. Kata-katanya berbelit, seolah mulutnya habis ditimpuk batu. Kadang ia mengucapkan ungkapan absurd, seperti mencoba menerjemahkan es tung-tung dalam bahasa gaul Amerika Serikat abad kedua puluh.

"Cold Knocker, pfft."

"Diamlah," ucap Grey. Wajahnya memerah setiap kuingatkan soal itu.

Kukira ia hanya satu dari sekian pelanggan kafe yang datang sekali dan takkan kembali. Tahu-tahu ia datang lagi membawa dua gembong preman. Aku yang cuma cewek SMA magang hanya bisa pasrah. Kudengar sih Grey berusaha mendamaikan, tetapi ia salah perhitungan dan malah menciptakan kerusuhan.

Sejak saat itu, banyak yang bilang Grey cowok berandal dan berbahaya. Padahal, tampangnya tak ada sangar-sangarnya. Mirip bayi, bahkan. Bukannya aku menilai hanya dari penampilan. Namun, aku tetap yakin dia cuma korban keadaan.

Dia suka catur, sama sepertiku. Walau dia tak segila dan semaniak aku. Banyak yang berpikir aku pintar segalanya hanya karena pernah juara catur. Padahal, ini hanya permainan. Meski ada korelasi antara kemampuan bermain catur dan IQ, itu bukan tolok ukur kecerdasan secara umum.

Kalau boleh minta, aku mending dikasih keahlian dan bakat seperti Alin dan Poppy. Keduanya cewek yang sering berinteraksi dengan Grey. Alin editor klub j̶̶u̶̶r̶̶n̶̶a̶̶l̶̶i̶̶s̶̶t̶̶i̶̶k̶ jurik yang serba bisa. Dia cakap, tangguh, dan berani menyuarakan pendapat tanpa takut dihujat. Sedangkan Poppy, lingkup pergaulannya luas sekali. Primadona sekolah dan ratu klub drama. Belum lagi, keluarganya punya pengaruh kuat di balai kota.

Mereka juga cantik dan seksi. Seteguh apa pun pendirian cowok, lama-lama bakal goyah kalau mereka yang mendekati. Sedangkan aku, mental saja masih sakit-sakitan. Apalagi seksi.

Aku dan Grey cuma teman main catur dan teman baca buku. Di sekolah, kami jarang sekali bertemu. Terutama akhir-akhir ini. Grey sibuk dengan liputan ekskul jurnalistik, sementara aku harus banyak berlatih untuk persiapan Popda. Kami yang tadinya bisa main catur di papan sesekali, kini harus curi-curi waktu untuk bermain jarak jauh via aplikasi.

Sebenarnya bisa saja kuminta Grey meliput persiapanku hingga turnamen, tapi nanti disangka caper. Dia juga belum tentu mau. Kalau ditolak, mau ditaruh di mana mukaku.

Enaknya jadi Alin, bisa bertemu dengan Grey di ruang klub jurik setiap hari. Enaknya jadi Poppy, bisa mengganggu ruang personal cowok itu tanpa malu-malu.

Sementara aku ....

"Kar, ada masalah?" tanya Grey saat kami bermain di chess.com.

"Enggak kok. Emang kenapa?" tanyaku balik.

"Biasanya kau memilih langkah yang paling cepat dan efektif untuk menang. Tapi sekarang, kau banyak berputar-putar. Padahal posisimu unggul. Seakan-akan ... kau mau membuatku menderita lebih dulu," jelasnya. "Kau tak sedang marah padaku, kan?"

Benarkah? Aku tak terlalu memperhatikan langkah-langkahku. Namun, dia memang tajam, sih. Sejujurnya aku agak sebal, tapi di sisi lain, aku tak mau permainan kami lekas berakhir.

Kejamnya aku. Padahal Grey sudah memberiku keleluasaan dengan tidak menekan tombol resign.

Hari turnamen, aku agak meriang. Kepalaku pening, jemariku gemetar, kaki-kakiku tak bisa diam. Beruntung cuma catur kilat. Terserah mau juara apa tidak. Aku mau cepat-cepat pulang dan tidur siang.

Di luar ruang lomba, ada sedikit kegaduhan disertai bunyi kecrekan. Lalu seorang panitia muncul dari luar dan menyebut namaku.

"Karina Ratnasari?"

"Iya, Pak?"

"Pfft. Nih, ada cowok yang mau ketemu kamu," ucapnya. Ia tersenyum menahan tawa.

Aku pun keluar. Seorang cowok mengenakan baju olahraga dari SMA-ku. Tak hanya itu, ia juga memakai syal merah ala suporter sepak bola, mencoret pipi dengan cat merah putih, dan menghias kepala dengan replika mahkota raja dalam catur. Tangannya masing-masing memegang kecrekan dan tulisan yang berbunyi, "You'll Never Walk Alone."

"Grey? Kamu ngapain ke sini pakai gituan?" tanyaku.

"Kudengar dari Red, kau pergi ke turnamen tanpa dukungan. Red dengar dari Kak Ivan, Kak Ivan dengar dari Gita. Tadinya aku bawa beberapa massa dari suporter ekskul futsal, tapi cuma aku yang boleh masuk."

"Ya iyalah. Ini kan turnamen catur, bukan bola," balasku. "Terus kamu bawa kecrekan buat apa? Mau ngamen?"

Dia garuk-garuk kepala sambil menggerutu. "Kampret si Red. Dia bilang kau main di lapangan badminton yang ada tribunnya, bukan di ruang seminar. Minimal kan bisa yel-yel sebelum dan sesudah tanding."

Aku tak mengerti lagi. Bagaimana mungkin dia bisa menebak perasaanku hanya dari langkah catur, tapi tak memahami hal sesimpel ini?

Sambil menahan malu, kami memasuki ruangan. Tidak tega menyuruh Grey pulang setelah jauh-jauh kemari untuk mendukungku.

Semua mata memandang Grey yang baru duduk di kursi penonton, dekat sudut ruangan. Cowok itu cengar-cengir ke orang-orang sekitar, berusaha sopan.

Pada turnamen tersebut, aku cuma dapat juara tiga. Sejak awal aku memang kurang fit. Tak adil bila menyalahkan kedatangan Grey atas performaku. Namun gara-gara dia, otakku serasa ikut diculik ke atas langit. Di kafe, di sekolah, maupun di rumah, aku kadang senyum-senyum sendiri setiap mengingat ekspresinya kala itu.

***

[A/N] When in doubt, ask Grey for help. Mungkin aku bakal nyesel dah nge-summon dia di challenge se-random ini. Tapi dahlah.

Btw, saya dapat trope romance comedy. Cuma nggak tahu dah apa ini udah cukup romcom buat kalian para sepuh dan pecinta romcom.

DF Rost, 6 Februari 2024

Image by eommina from pixabay.com

Buku Belajar MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang