The Short Welcome

51 9 8
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***


Hujan deras menyerbu genting kafe Re:Noir. Hujan disertai petir yang membuat kopiku nyaris tumpah di atas laptop, seolah malaikat tengah gusar menghajar para iblis karena sembarangan mengencingi langit.

Dingin-dingin begini, membuatku memikirkan metafora dan merenung layaknya simile. Namun, tak satu pun majas bisa menyelamatkanku dari narasi laporan cuaca di awal cerita. Narasi yang, kata Bu Guru, adalah tanda bahwa aku mulai kehabisan bahan obrolan.

Bukan hanya aku. Karina, Gita, Red, dan Alin pun diam tanpa kata. Semua fokus mengetik. Meski berbeda kelas, kebetulan guru Bahasa Indonesia kami sama. Kami pun sama-sama disuruh mengarang cerita pendek.

Red pelopor pertemuan ini. Katanya sih, biar lebih termotivasi. Namun, aku yakin ini salah satu modus untuk mendekati Alin.

Padahal dia bisa saja mengajak Alin kerja berdua. Toh mereka tetanggaan. Namun, aku tak banyak protes karena dia juga mengundang Karina.

Seseorang membunyikan bel. Gita, anak pemilik kafe, bergegas ke pintu depan.

Beberapa saat kemudian, ia kembali dan bertanya, "Di sini yang paling lancar bahasa Inggris siapa? Bantu aku dong."

"Emang kenapa?" tanya Alin.

"Ada cewek bule masuk kafe," jawab Gita. "Mau bilang tutup, tapi kasihan. Dia habis kehujanan."

Red menyeletuk, "Grey tuh, kan dia lulusan SD internasional."

Aku tersentak. "Hus! Sembarangan."

"Oh ya? Aku baru tahu lho." Karina menoleh padaku. Matanya berbinar.

Aku memalingkan muka.

"Ya udah, Grey, kamu juga pernah magang di sini, kan?" ujar Gita. "Layani dia. Tanyain butuh apa aja."

Ketiga cewek di sekitarku termakan hasutan Red. Mau tak mau aku pun menuruti mereka.

Seorang gadis pirang berdiri di atas keset sambil melepas sepatu. Ia memakai topi deerstalker seperti milik Sherlock Holmes, trenchcoat, kemeja putih, rok kotak-kotak, dan stoking tinggi di atas lutut. Tangan kirinya memegang arloji emas, dengan suryakanta di saku jas.

Gayanya mirip detektif swasta dalam fiksi Inggris era Ratu Victoria. Namun, pada bagian tertentu, ia mengingatkanku pada gaya fashion jejepangan.

"Pardon my intrusion," ucapnya.

"Don't worry," sahutku. "Please take a seat, Miss"

"Amelia Watson. You can call me Ame, if you may."

"Uh, alright. Miss Ame."

Itu nama panggilan yang agak asing untuk gadis kulit putih berbahasa Inggris. Apa cuma perasaanku? Kalau tak salah, ame dalam bahasa Jepang bisa berarti permen atau hujan. Sangat pas dengan cuaca malam ini.

Buku Belajar MenulisWhere stories live. Discover now