Tempat yang Lebih Jauh dari Khayalan

71 15 3
                                    


Pernah ada suatu masa, saat manusia masih berdamai dengan serangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pernah ada suatu masa, saat manusia masih berdamai dengan serangga.

Jangkrik berderik, kumbang berdengung, kunang-kunang menjadi  bintang-bintang nan terang di sepanjang pematang.

Capung dan kupu-kupu adalah teman yang hadir di setiap pertemuan. Semut dan lebah adalah berkah bagi setiap petak sawah dan perkebunan.

Namun kini, semuanya menghilang.

Manusia terlambat sadar, kecuali segelintir ahli serangga dan pengamat lingkungan. Namun, siapa yang masih mendengar ilmuwan?

Tak ada serangga, tak ada sumber pangan. Tanaman mati, burung-burung berjatuhan. Tak ada lagi yang bisa membuat tenteram dan betah. Segala racun dan sampah telah akrab dengan ekosistem tanah.

Orang-orang sibuk dengan realitas semu dan kejayaan palsu. Terkungkung dalam cahaya-cahaya buatan yang merusak langit dan binatang malam. Gedung dan pabrik-pabrik polutan masih terus didirikan, hanya demi bisa tidur telanjang sambil bergelimang uang.

Saat bencana global di depan mata, baru mereka sadar bahwa hidup bukan sekadar materi dan angka-angka.

Badai datang dan listrik mati. Wajah-wajah penyandang wabah kelaparan menghiasi kabar-kabar di lintas negeri. Kerusuhan berkecamuk, perang akbar berkobar hingga tak ada harta yang tersisa selain waktu yang tinggal sedikit ini.

Ratusan pasang mata menatap berhektar-hektar kuburan massal sambil berucap, "Kuharap aku menyusul mereka hari ini."

Bukan karena sudah siap, bukan pula karena rindu akan kasih-Nya. Nurani kini terlalu gelap dan kalap untuk memikirkan kehidupan setelah mati. Mereka hanya ingin penderitaan ini cepat berakhir.

Sekelompok ilmuwan tetap gigih berjuang. Mereka menemukan tempat terakhir di bumi yang masih asri dan belum terjamah. Tempat yang lebih jauh dari khayalan. Di sana, mereka dihadang oleh kawanan serangga dari berbagai spesies yang telah berevolusi.

"Tolong, biarkan kami masuk," pinta sang kepala ilmuwan.

"Tidak boleh! Kalian manusia kerjanya cuma merusak," bentak semut pekerja seukuran orang dewasa.

"Beri kami kesempatan. Kami janji takkan mengusik kehidupan kalian."

Semua serangga tertawa.

"Kau bercanda? Berapa kali leluhur kami memberi kalian kesempatan? Berapa banyak pantangan alam yang kalian langgar? Kami selalu memberi tanda bahaya tanpa diminta. Kalau rumah kalian hancur, ya salah sendiri," balas kupu-kupu ekor walet.

Para ilmuwan memohon berkali-kali sambil bersimpuh dan menangis, membuang semua ego dan harga diri. Namun, para serangga tetap teguh pada pendirian. Beruntung aliansi ratu koloni cukup baik hati. Mereka meminjamkan sebuah kapal luar angkasa dengan bahan bakar yang takkan habis sampai penumpang terakhir mati.

Rombongan manusia terakhir terusir dari bumi. Menjelajah dari planet ke planet demi secercah mimpi: menemukan rumah baru yang layak ditinggali. Bila jarak antarplanet kandidat terlalu jauh, mereka mencurangi waktu dengan membekukan diri.

Berpuluh-puluh sistem bintang mereka lalui. Tak satu pun planet yang seramah dan seindah bumi. Kepala ilmuwan ingin berbalik, tapi kepalang tanggung. Rekan-rekannya sudah banyak yang jatuh. Bahan bakar kapal pun hanya cukup untuk dua tata surya lagi.

Semakin sunyi. Tinggal ia sendiri, beserta istrinya yang megap-megap menghirup obat asma. Ia menyetel video edukasi tentang lika-liku kehidupan serangga. Mendengarkan derik jangkrik dan dengung kumbang. Berdamai dengan kenyataan bahwa kunang-kunang yang ia temui semasa kecil, telah menjadi kenang-kenang yang tak akan pernah kembali.

***

DF Rost, 4 Februari 2024

Image by u_3w9jepr639 from pixabay

Buku Belajar MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang