Karena Buku ingin pandai menulis.
***
Kumpulan tulisan khusus event daily writing challenge NPC.
[R-17] WARNING: Beberapa tulisan di sini mengandung kekerasan, kata-kata kasar, humor gelap, konten aneh bin mengganggu pikiran, gejala waham, dan halus...
Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
***
Enggel mon sao surito Inang maso semonan Manoknop sao fano Uwi lah da sesewan Unen ne alek linon Fesang bakat ne mali Manoknop sao hampong Tibo-tibo mawi
...
Senyap. Tak ada tanda-tanda manusia sejak aku dan tim SAR mendarat di tepi pantai pulau ini.
Gempa telah reda. Ombak ganas telah berpulang ke laut bebas. Meninggalkan puing-puing pelabuhan, mercusuar patah, dan reruntuhan rumah. Kapal besar yang harusnya diparkir di dermaga pun terseret hingga jauh ke pedalaman.
Namun, ke mana semua orang?
Mestinya pulau ini dihuni puluhan ribu jiwa. Dari sini, episentrum gempa begitu dekat. Sembilan skala Richter, cukup kuat tuk menjemput tsunami nan mahadahsyat. Aku dan tim telah bersiap melihat pemandangan pilu. Jalan-jalan penuh mayat, tangisan, dan jerit minta tolong yang menyayat kalbu.
Akan tetapi, kami tak menemukan siapa-siapa. Tak ada mayat, tak ada jeritan, tak ada.
Apa semuanya sudah musnah? Apa mereka ikut terseret ke dasar lautan? Batinku bertanya-tanya sambil terus mencari.
***
Anga linon ne mali Uwek suruik sahuli Maheya mihawali Fano me singa tenggi Ede smong kahanne Turiang da nenekta Miredem teher ere Pesan dan navi da
...
Seorang rekan menunjuk-nunjuk ke daerah perbukitan. Ia meminjamiku teropong. Aku turut memantau dari kaki hingga puncak bukit. Ratusan, bahkan mungkin ribuan orang tengah berkumpul di atas sana.
Kami pun bergegas. Segenap peralatan dan perlengkapan kami bawa ke tempat yang lebih tinggi. Lalu di lereng bukit, kami berpapasan dengan sekelompok anak-anak.
"Kakak, Kakak, Smong-nya udah lewat, ya?" tanya seorang anak.
"Smong?"
"Ombak besar! Buesaaar banget. Segini besarnya," sahut anak yang lain sambil merentangkan kedua tangan lebar-lebar.
"Oh, tsunami? Insyaallah sudah. Kami ke sini untuk menyalurkan bantuan," terangku. "Boleh antar kami ke tempat orang tua kalian?"
Wajah anak-anak itu tampak cerah, seperti matahari yang kembali bersinar usai hujan lebat. Dengan riang mereka memandu kami ke kediaman sementara para pengungsi.
Tanpa menunggu lama, kami mendirikan posko bantuan dan tenda-tenda darurat. Seluruh warga pulau kami data agar tak ada yang luput dari penyelamatan. Hasilnya mencengangkan. Dari sekitar 78.000 jiwa yang tercatat, hanya tujuh orang yang meninggal. Padahal, korban tewas di pulau utama dan negeri-negeri tetangga jika ditotal mencapai ratusan ribu jiwa.
Berhari-hari di sana, rombongan kami mendapat banyak pelajaran. Konon, gempa dan tsunami kerap dijumpai leluhur penduduk pulau. Ribuan jiwa melayang. Kenangan pahit itu terpatri dalam tradisi. Dalam dongeng-dongeng lisan yang diwariskan turun temurun ke anak cucu mereka.
Mereka jadi pandai membaca tanda-tanda alam. Mereka siap dengan perbekalan manakala terjadi bencana susulan. Hingga kini, aku masih takjub. Menyelamatkan puluhan ribu orang bukan perkara gampang, kecuali semua memiliki kesadaran yang mengakar dan tali persaudaraan yang kuat.
***
Dengarlah sebuah cerita Pada zaman dahulu Tenggelam satu desa Begitulah mereka ceritakan Diawali oleh gempa Disusul ombak yang besar sekali Tenggelam seluruh negeri Tiba-tiba saja
Jika gempanya kuat Disusul air yang surut Segeralah cari Tempat kalian yang lebih tinggi Itulah smong namanya Sejarah nenek moyang kita Ingatlah ini betul-betul Pesan dan nasihatnya
***
[A/N] Ini cerpen. Tokoh, dialog, dan beberapa aspek di kisah ini fiktif, tapi premisnya mengangkat kisah nyata di Pulau Simeulue, saat gempa & tsunami 26 Desember 2004. Bait-bait syair di atas diambil dari syair Nandong Smong, karya Mohd. Riswan. R, alias Pak Moris; tokoh adat dan budaya Simeulue. Terima kasih banyak buat beliau & Izzato Studio yang sudah membuat animasi lagu ini.