Hide & Shriek

51 8 15
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


***


Empat anak kecil. Empat nyawa. Satu tikus raksasa.

Di sebuah kandang ayam, Burhan dan tiga anak SD yang lain tengah bersembunyi. Ia tak pernah menyangka petak umpet malam ini berubah menjadi petaka.

Kisahnya bermula sehabis salat Isya di langgar. Anak-anak seusianya selalu berkumpul di pelataran rumah almarhum kakek Burhan untuk bermain. Halamannya luas, dipagari teh-tehan dan dua pohon mangga. Banyak yang bisa mereka mainkan. Namun, seperti buah, tiap permainan ada musimnya. Kebetulan akhir-akhir ini di desa Burhan masih musim petak umpet.

Burhan yang jaga. Itu keapesan pertama. Desanya penuh dengan titik-titik yang gelap gulita. Pepohonan rindang, kandang hewan, tepi saluran irigasi, semua bisa jadi tempat yang ideal untuk bersembunyi. Berpindah-pindah tanpa terdeteksi. Tugas yang merepotkan bagi siapa pun yang harus mencari.

Target pertama berhasil ia tangkap. Nia, adiknya sendiri. Target keduanya adalah Faris, anak yang bersembunyi di bawah lincak pedagang kacang rebus. Beberapa anak berhasil lolos dan menyentuh tiang jaga sebelum Burhan, hingga tinggal satu anak yang belum terlihat. Agung.

Dibantu Nia dan Faris, Burhan memergoki Agung tengah menyantap sesajen. Ini malam Jumat Kliwon. Sudah jadi tradisi desa untuk menyiapkan sesajen berupa buah, rokok, kopi, dan aneka jajanan pasar. Termasuk keluarga Agung.

"Gung, curang kamu. Kan perjanjiannya nggak boleh masuk rumah," ujar Burhan.

"Sorry, Han. Laper nih," balas Agung. "Mau nggak? Ambil aja. Nia, Faris, yuk?"

Ia menawari ketiga temannya bubur merah putih. Namun, Burhan mencegah.

"Ya udah. Berarti abis ini kamu yang jaga! Dasar curang."

Burhan segera menarik Agung sebelum selesai makan. Pukul delapan malam. Kicau burung perkutut menggema seraya keempat anak itu keluar rumah. Suaranya rendah dan sedih.

Di luar sepi. Muda-mudi desa yang biasa bergadang, bapak-bapak yang biasa mengobrol di pos ronda, wujudnya tak terlihat sama sekali. Padahal, malam masih muda. Burhan dan kawan-kawan biasanya baru disuruh pulang pukul sembilan malam.

Makin jauh berjalan, makin ia sadar bahwa tak satu pun orang dewasa ia temukan. Sorak-sorai gembira yang tadi memenuhi pelataran kakeknya, berubah menjadi tangis dan pekik mencekam.

"Wirok! Wirok! Ada tikus wir—ohk!"

Burhan bersembunyi di rumpun bambu, diikuti tiga anak yang lain. Dari sela batang, ia menyaksikan sesosok tikus sebesar macan kumbang tengah menggerogoti tubuh seorang anak. Nia hampir menjerit, untung Burhan sigap membekap.

Tikus itu menoleh ke rumpun bambu, memperlihatkan mulut yang penuh darah dan robekan baju. Agung dan Faris sontak lari terbirit-birit, membuat perhatian makhluk itu tertuju ke arah mereka. Burhan dan Nia berlari ke arah yang berlawanan. Tetap menuju rumah sang kakek.

Buku Belajar MenulisWhere stories live. Discover now