Bab 13| Tidak Bisa Berkata-kata

34 9 0
                                    

Hari ini Yul senggang, dan ia pun tidak keberatan jika harus menemani Shin berkeliling.

Berhubung berkeliling adalah permintaan Shin, maka dari itu kali ini dia yang memimpin jalan.

Shin berjalan membawa wanita yang lebih tua darinya itu masuk ke area yang sedikit lebih sepi yaitu ada pada area perabotan. Bukan karena ia tidak suka tempat ramai hanya saja, sekarang ini ia menjadi pusat perhatian. Sehingga banyak pasang mata yang tertuju ke arahnya, dan membuatnya merasa kurang nyaman.

Yul pun tak banyak bertanya. Dengan patuh mengikuti Shin berjalan di sebelahnya.

Keduanya belum mengetahui usia masing-masing. Tapi Yul sudah menebak Shin lebih muda darinya. Sedangkan Shin sendiri, tidak pernah sedikitpun memikirkan akan usia. Bagi Shin, usia hanyalah masalah angka. Sehingga, tidak perlu repot-repot memikirkan angka.

Yul yang memang tidak pandai mengajak seseorang mengobrol, berusaha keras untuk menentukan topik pembicaraan, di saat keduanya sama-sama diam.

"Sebentar lagi. Balik ke kota, ya," ujar Yul, melirik ke arah Shin sebentar. Lalu kembali melihat ke arah jalan di depan.

Shin menoleh ke arahnya sambil menjawab "Teteh mau ikut?" Shin merasa tidak sanggup jika harus mengatakan kebenarannya dengan lancang. Sehingga bertanya seperti adalah pilihan yang terbaik bagi Shin.

Yul mengerti akan ucapannya tersebut. Dan ia pun merasa sedikit berat, saat harus berpisah nanti. Padahal, ia baru saja berjumpa. Tapi seolah-olah seperti sudah saling mengenal lama. Yul, merasa kenyamanan saat bersama Shin, walaupun rasa canggung akan selalu mendominasi.

"Ngapain ikut. Nanti di sana bingung lagi mau ngapain" jawab Yul yang membuat Shin tersenyum. Sebab, Shin tau, Yul tidak memiliki alasan untuk ikut dia ke kota.

"Tapi. Kapan-kapan teteh harus main ke kota. Ketemu sama saya nanti di sana" meski begitu Shin berusaha membuatkan alasan untuk Yul agar mau pergi ke kota, ke tempatnya tinggal.

Sejujurnya, Shin pun ingin melihat Yul main ke kota nya tinggal. Jika hal itu terjadi, Shin ingin membawa Yul ke tempat-tempat yang sering disebut "jantungnya kota". Shin ingin menunjukkan kehidupan kota kepada Yul. Shin berharap, kesempatan itu terjadi.

"Iya. Nanti kalo ada waktu. Kan, gak mungkin tiba-tiba saya pergi ke kota. Jauh," Yul pun tak menampi, bahwa dirinya juga ingin tahu kota itu seperti apa. Apa sama seperti yang orang lain katakan.

"Kalo mau ke kota. Bilang aja ke si Jaka. Dia bakal bawa Teteh" dari awalnya hanya frasa biasa berubah menjadi kata-kata yang serius diucapkan.

"Siap"

Saat mereka setelah mendapat kesepakatan, langkah mereka mulai memasuki kawasan pakaian, dan bersamaan dengan adanya pengamen yang sedang menyanyikan sebuah lagu tentang kisah cinta yang tidak bisa diucapkan. Membuat percakapan antar dua orang terasa lebih berkesan bagi mereka berdua.

"Berarti kamu udah enggak foto lagi dong?" Tanya Yul sebisa mungkin untuk tidak melihat ke arah Shin. Setiap kali ia melihatnya, hatinya selalu merasa berantakan, dan hal itu membuatnya menjadi gelisah.

"Hm. Kami udah mulai siap-siap"

Setelah itu, keheningan melanda mereka berdua.

Yul tak tau lagi harus berkata apa. Teringat perpisahan antara ia dan Shin membuatnya menjadi semakin kesulitan dalam menentukan topik pembicaraan.

Begitu juga dengan Shin. Padahal ia masih betah tinggal di desa ini, dan masih ingin berlama-lama dengan Yul. Namun, keadaan memaksa dia harus merasakan perasaan yang tak adil ini.

Meski begitu, Shin tidak akan membiarkan waktu terbuang percuma. Ia mengeluarkan ponsel, lalu mengajak Yul berfoto bersama.

"Teh. Foto" ujar Shin mengoyang-goyangkan ponselnya di depan Yul.

Yul yang melihat hal itu, bingung saat pertama kali melihat. Setelah tau Shin mengajaknya berfoto bersama, rasa malu akan mendominasi dirinya, sehingga tak segan untuk menolak ajakan Shin.

Yul menggelengkan kepalanya

Shin yang melihat Yul menggelengkan kepalanya, tentu saja kecewa. Tapi ia masih bisa tersenyum.

"Buat kenang-kenangan. Bisa di cetak juga" Shin masih berusaha untuk membujuk Yul agar mau berfoto bersama dengannya.

Jika itu bukan tempat umum, mungkin Yul tidak akan menolaknya dengan mudah. Hanya saja, ini di keramaian. Yul tidak memiliki kepercayaan diri sebesar yang dimiliki oleh Shin.

Yul tetap menolaknya

"Malu"

Shin pun, tidak memaksa. Dengan berat hati, ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam jaket.

Sebenernya Shin tidak begitu menginginkan berfoto bersama. Shin juga sudah punya foto bersama Yul saat di Ladang tempo hari. Dan beberapa foto yang ia ambil secara diam-diam saat Yul di Ladang. Sebenarnya, foto tersebut sudah cukup untuk dijadikan kenang-kenangan. Hanya saja, momen sekarang sangat cocok untuk melakukan foto bersama.

"Tapi, lain kali harus mau, ya?," ujar Shin yang entah kapan memiliki kesempatan untuk bisa berfoto bersama. Karena Shin mengetahui Yul yang selalu sibuk dan sulit untuk ditemui. Yul lebih sibuk dari dirinya.

"Em," Yul menjawab tanpa berpikir panjang. Ia juga memiliki pemikiran yang sama dengan Shin. Waktu untuk melakukannya foto bersama ternyata, tidak pernah ada. Sehingga tanpa ragu, Yul segera menyetujui permintaan Shin.

"Teteh punya nomer telpon gak?," tanya Shin, teringat jika dirinya belum memiliki nomer telpon Yul. Dengan begitu dia bisa menghubungi Yul kapan pun dan dimana pun.

Sayang nya, Yul menggelengkan kepala.

"Yang bener?! Masa gak punya?" Shin masih belum percaya dengan kenyataan bahwa Yul tidak memiliki ponsel. Apalagi sekarang ini ponsel adalah barang yang hampir semua orang miliki.

"Beneran. Gak punya" Yul menjawab dengan jujur. Dan ia pun bingung dengan reaksi yang diberikan oleh Shin saat ia mengatakan tidak memiliki ponsel. Apa yang salah dengan hal itu?

Shin tidak bisa berkata-kata lagi. Dia tidak bisa memikirkan hal lain karena, Yul benar-benar di luar perkiraan.

Maka, perpisahan kali ini akan benar-benar menjadi perpisahan yang sebenarnya. Tidak ada lagi komunikasi apapun setelahnya. Padahal, setelah kembali ke kota, Shin ingin menghubungi Yul. Jika seperti ini jadinya, bagaimana cara ia bisa menghubungi Yul. Shin tiba-tiba merasa buruk.

Menatap langit sekilas, Shin membuang perasaan buruknya lalu, tersenyum untuk Yul.

"Kalo gitu. Kapan-kapan Teteh harus ke kota," pertegas Shin yang tidak tahu lagi harus bagaimana selanjutnya.

"Siap!," jawab Yul sedikit lebih bersemangat, dan dia juga tersenyum untuk Yul. Dia juga sedih, saat harus berpisah dengan Shin.

Untuk Shin yang jarang melihat Yul mengeluarkan banyak ekspresi, melihatnya sekarang sedikit lebih berekspresi, merasa kalo Yul ini aslinya lucu. Hanya saja, ia tidak memiliki kesempatan lain untuk melihatnya lebih banyak lagi. Hatinya sangat menyayangkan akan hal itu.

Setelah itu, mereka berdua memiliki untuk kembali pulang.

Saat di perjalanan pun, tidak banyak yang mereka bicarakan. Hanya membiayai hal acak seperti.

"Jalan yang lurus itu, jalan menuju mata air. Kapan-kapan kalo kamu main ke sini lagi. Saya antar main ke sana"

"Siap!"

Singkatnya, mereka lebih dekat dari biasanya. Dan mereka juga jauh lebih santai dari biasanya. Namun sayang, waktu untuk mereka bersama tak lama lagi. Perpisahan akan mereka temui saat lusa nanti.

Mereka merasakan sedih satu sama lain. Namun untuk Yul, ia tidak begitu memikirkannya. Karena, Yul selalu menenamkan prinsip, untuk tidak banyak berharap. Sehingga Yul tidak begitu merasa buruk. Pikirannya terus memikirkan hal positif akan kehidupannya yang akan jauh lebih baik lagi.

Yul tidak pernah memiliki mimpi yang besar, apalagi menjadi manusia yang penuh ambisi, Yul selalu memiliki keinginan yang sederhana, agar ia bisa dengan mudah meraihnya. Yul menghindari hal-hal yang mustahil alis di luar batas kemampuan.

Meski begitu, Yul juga tidak bisa memungkiri, kehadiran Shin cukup berkesan.

•••••••

Bujang KotaWhere stories live. Discover now