21 | Di Garis Ekuator Koridor

18 2 0
                                    

Now Playing | Tersenyum Untuk Siapa - Hivi!






Tidak ada perasaan yang lebih indah dari melihat senyuman orang yang kita sayangi.

Rasa nyaman itu menjalari hati Rima ketika melihat seorang pemuda yang duduk di tepi lapangan nan jauh disana, sedang dirinya hanya berani menatap dari jendela kelas.

Katanya, untuk membuktikan keaslian perasaan cinta seseorang, setidaknya butuh waktu sekitar tiga bulan. Kalau dalam kurun waktu itu perasaannya masih sama seperti sedia kala, artinya itu benar-benar cinta.

Sudah lima bulan berlalu sejak Rima menyadari perasaan sukanya terhadap Kak Sajak. Apakah itu berarti, rasa sukanya sudah resmi berevolusi menjadi rasa cinta? Entahlah, semua belum jelas.

Yang pasti sekarang adalah Rima terlihat semakin serius menatap Kak Sajak yang tengah berbincang dengan seorang temannya di gazebo depan ruang guru. Saking seriusnya, dia sampai tak sadar kalau posisi Kak Sajak sudah berubah semakin dekat dengannya. Awalnya di bangku tepi lapangan, kemudian gazebo depan ruang guru, dan sekarang tau-tau dia sudah berdiri di samping pohon mangga depan kelas Sepuluh Mipa 1. Hingga tiba-tiba, dalam sekejap mata pemuda itu hilang dari pandangannya.

"Loh? Dia kemana?"

"Saya di sini."

Rima menegakkan tubuh. Suaranya seperti...

Kontan gadis itu berbalik. "KAK SAJ-"

"Iya, Rima?"

What the-

Demi ketujuh samudera, Rima terasa seperti melayang sekarang.

"Rima?"

Ya Allah... Dia manggil gue? Apa kebaikan yang pernah gue lakuin sampai gue berhak menerima semua ini? Dia sebut nama gue? Ya Allah...

"Rima? Kok nggak jawab? Kenapa nyariin saya?"

Adem banget suaranya...

"Atau saya harus panggil nama lengkap kamu dulu supaya mau jawab?" Kak Sajak tersenyum. Begitu manis. "Rima Gantari Poetry? My Poetry? Ada apa? Kok nyariin, hm?"

Mampus! Edan! Ini nggak mungkin nyata. Pasti cuma mimpi! Ayo bangun Rima!

Rima seketika tersadar kalau sekarang dia sedang terjebak di alam mimpi. Semuanya sudah terlalu berlebihan. Tidak mungkin seorang Sajak bisa berkata semanis itu padanya. Dan apa katanya tadi? My Poetry?

"Kok nggak jawab?" Kak Sajak semakin mendekat. Dia terus berjalan mendekati Rima, mempertipis jarak diantara mereka. Seperti di alam mimpi pada umumnya, Rima kesulitan mengontrol semua yang terjadi. Saat itu, tubuhnya terasa kaku. Dia tidak bisa bergerak, sementara jaraknya dan Kak Sajak sekarang mungkin hanyalah satu langkah. Sedikit lagi dia mendekat, mereka pasti akan-

"STOP! BERHENTI!"

Rima berhasil bangun dan kembali ke dunia nyata.

"Lo kenapa anjir?!" Kaget Yara.

Rima melihat ke sekeliling. Terkejut sekaligus malu menyadari sekarang ia menjadi pusat perhatian teman-teman kelasnya.

"Makanya, jangan tidur jam segini. Rawan mimpi buruk" Rike menyahut dari tempatnya duduknya.

"Nggak heran sih. Gue lebih milih dikasih tugas daripada disuruh nyatet terus ditinggal entah kemana begini. Apalagi yang modelan pelajaran sejarah. Capek-capek sekolah demi masa depan, malah disuruh mikirin masa lalu. Normal sih dia sampai ketiduran begitu. Bentar lagi gue juga k.o." Raisa mengucek matanya kemudian menguap. Baru ingin membenamkan wajahnya di atas meja, bel istirahat kedua berbunyi.

Sajak dan RimaWhere stories live. Discover now