22 | Laksana Laut Yang Memdamba Langit

34 6 0
                                    

Now Playing | Sorai - Nadin Amizah




November memang identik dengan suhu dingin sebagai tanda datangnya musim penghujan. Rima hanya tidak menyangka kalau pagi ini akan begitu parah. Kabut bahkan terlihat seakan menenggelamkan setengah gedung aula sekolah yang biasanya menjulang megah.

Hembusan angin yang bertiup melewatinya membuat Rima memeluk erat tubuhnya sendiri. Seketika menyesal tak mendengarkan paksaan Ibunya untuk memakai jaket.

Kini pandangan gadis itu menyapu sekeliling. Perpaduan kabut dan mendung sukses menciptakan suasana sendu yang menusuk kalbu.

Rima tersadar, ternyata sudah di penghujung tahun. Hubungannya dengan Kak Sajak hampir tak ada perkembangan. Sementara perasaannya sudah membesar dan mengakar kuat mencengkram seluruh jiwa dan raganya.

Bersamaan dengan helaan nafas Rima, gerimis turun tanpa aba-aba. Perlahan tapi pasti, rinai kecil itu mulai membesar dan menyebar luas membasahi segala penjuru. Rima bahkan sampai termundur kaget hingga bersandar ke tembok di belakangnya untuk menghindari percikan air hujan yang kini masuk ke pelataran. Gadis itu meringis, menyadari koridor yang awalnya sepi kini mulai dipadati siswa-siswi yang berlarian dari parkiran untuk berteduh.

Sementara suasana koridor semakin ramai, angin pun bertiup tambah kencang. Pohon-pohon di halaman mulai berayun keras, menggugurkan daun-daunnya yang kini berterbangan kemana-mana.

Rima mulai kedinginan, bercak-bercak merah pun kini muncul di kulitnya. Dengan gusar gadis itu menggaruknya, membuat beberapa pasang mata di dekatnya menatap. Entah apa yang ada di pikiran mereka, yang pasti Rima membenci sejenis tatapan itu.

Kini Rima tak punya pilihan lain. Kalau ingin selamat, ia harus segera masuk kelas untuk menghangatkan diri. Sementara itu, satu-satunya jalan menuju kelas adalah menerobos hujan, dengan konsekuensi ia akan sedikit basah sebab harus melewati area tak beratap.

Sebelum memutuskan, Rima memperhatikan situasi di sekitar. Sungguh, tidak ada yang paling ia benci namun juga ia cintai daripada hujan. Hubungannya dan hujan adalah sebentuk perasaan tak jelas yang membingungkan. Ia suka hujan karena seringkali menyatukan manusia yang tak punya pilihan lain kecuali menetap di bawah atap yang sama untuk sesaat. Namun juga ia benci hujan karena di waktu yang sama, ia juga memisahkan dan menciptakan jarak diantara orang-orang yang ingin bertemu.

Namun di situasi sekarang ini, persetan dengan semua itu. Bagaimanapun, dia harus menghangatkan diri kalau tak ingin gatal-gatalnya lebih parah. Tanpa ada keraguan lagi, Rima mulai melangkah menjauh dari kerumunan. Meskipun agak kesusahan menyelip diantara banyaknya orang, gadis itu berhasil sampai di ujung koridor.

Rima mendongak ke langit. Menyadari hujannya semakin deras, seketika ia ragu. Kalau salah langkah dan perhitungan sedikit saja, bisa-bisa ia berakhir basah kuyup atau parahnya terpeleset dan jatuh pada kubangan air di depannya.

Sejenak, Rima berpikir. Menimbang-nimbang mana tindakan yang konsekuensinya lebih kecil. Diam di luar ruangan seperti sekarang ini dengan resiko menggigil dan gatal-gatal yang akhirnya mungkin akan fatal, atau berlari menerobos hujan namun beresiko basah.

Sementara itu, di kelas, Yara, Alin dan Karin sudah sangat khawatir dengan kondisi ketiga sahabatnya yang belum juga kelihatan batang hidungnya.

"Kira-kira, mereka udah sampai di sekolah belum ya?" Ujar Alin khawatir.

"Raisa kemungkinan belum berangkat, secara kan rumahnya deket. Rike kayaknya aman, dia pasti dianter Papanya. Yang bahaya itu Rima. Dia mungkin masih di jalan" Yara terdengar sangat cemas. Terlihat dari tingkahnya yang tak pernah meninggalkan pintu kelas untuk memantau keberadaan sahabat-sahabatnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sajak dan RimaWhere stories live. Discover now