Satu : Her Acting and His Aspirin

17K 860 32
                                    

"You can never take too much care over the choice of your shoes. Too many women think that they are unimportant, but the real proof of an elegant woman is what is on her feet." – Christian Dior


A way out better.

Kata-kata penolakan yang ia dengar dari atasannya tak bisa membuat sebagian ilustrasinya bisa diterima dengan baik, atau malah kembali menjadi uang dan waktu yang ia habiskan di sepanjang akhir pekan dengan menatap illustration board untuk dibubuhi cat, dan pensil sebagai garis dasarnya. Oh, dan juga bergelas-gelas kopi hitam yang selalu menjadi penyemangatnya yang malah membuat tubuh ringkihnya jadi selalu ketergantungan dengan kafein.

Kini ia di lobi kantor, menunggu sang suami untuk menjemputnya. Ia berjanji akan datang tepat waktu, jam setengah tiga, dengan mobil yang baru diganti dua minggu yang lalu. Sekarang masih jam setengah dua, masih ada satu jam yang harus dihabiskannya untuk menunggu. Ia membuka twitter, menuliskan keluh kesahnya dengan akun yang berbeda, akun yang tak seorang pun tahu kecuali dirinya, Becka, dan Wendy. Hanya curhatan dengan kata-kata kasar pada tiap kalimatnya yang tidak terlalu panjang. Seratus empat puluh karakter mengharuskannya menyingkat semua kata-kata itu. Ia sudah terbiasa, sudah mahir. 

"Mrs. Wu, apakah anda sedang menunggu seseorang?"

Seorang pria dengan seragam keamanan mendatangi wanita itu dengan senyuman di wajahnya yang keras, yang mana sesuai dengan pekerjaannya. Ia berusaha tersenyum seperti yang diajarkan oleh atasannya, wanita itu mengerti.

"Ya, ya, saya sedang menunggu seseorang." Ujar sang wanita. Sekilas, ia menatap nametag yang berada di dada sebelah kanan sang pria. "Randall, sebenarnya it's Woo, not Wu," tambahnya.

"Oh, maafkan saya Mrs. Woo. My bad."

Ia hanya tersenyum, ia sudah terbisa menangani orang-orang yang salah menyebutkan nama keluarga suaminya. Wu dan Woo, dengan pelafalan yang hampir mirip. Ia sadar, bahwa ketika menikah, ia akan kehilangan namanya sendiri karena semua orang akan memanggilnya sebagai Mrs. Woo atau ibu (isi sendiri nama anak mereka). Tidak akan ada yang menyebutnya Mischa, kecuali teman-teman terdekatnya saja. 

Meski begitu, bagi dirinya, nama hanyalah sebuah panggilan yang hanya memiliki makna ketika seseorang bertanya apa arti dari nama tersebut. Bahkan suaminya sendiri tidak pernah bertanya apa makna dari arti namanya. Ia tidak terlalu peduli dengan masalah sentimental seperti itu.

Sepuluh menit duduk di sofa lembut yang selalu terlihat menarik mata, ternyata tidak membuat dirinya nyaman. Ia mengambil tas tangan dan map besar berwarna turquoise dari atas meja, mengenakan kembali kacamata hitamnya, dan melenggang pergi setelah tersenyum ramah pada sang security yang tadi salah menyebutkan namanya.

Mischa , seorang ilustrator yang menikah dengan Nathaniel, pria bekerbangsaan Amerika dengan darah Korea yang juga mengalir ditubuhnya. Nate, seorang music producer untuk sebuah band beraliran country yang semua anggotanya adalah wanita. Afternoon Groove, yang musiknya mulai diterima khalayak umum yang biasanya lebih menyukai RnB dan pop daripada country

Ia berjalan menuju The Morning Plan, kedai kopi milik sahabatnya yang hanya berjarak dua blok dari kantornya berdiri di One World Trade Center.  Ia tidak menghiraukan sol merah sepatunya akan lecet karena terlalu sering diajak berjalan di pedestrian yang kasar. Ia lebih memilih mengabaikan taksi yang lewat, seperti taksi yang juga hanya berjalan dengan cepat mengabaikannya yang tidak melambaikan tangan. Mischa kesal, ia selalu kesal ketika apa yang diharapkannya berjalan dengan lancar tiba-tiba keluar dari rute yang ia kehendaki. Sebagai seorang illustrator yang namanya sudah didengar berbagai majalah terkenal seperti Vogue dan Elle, serta perancang dunia seperti Elie Saab dan Prabal Gurung, sebuah penolakan atas hasil karyanya adalah suatu tamparan yang cukup keras untuknya. Wajahnya merah, campuran blush on dan amarah.

Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)Where stories live. Discover now