Sembilan : Fly Me To The Moon

3.1K 371 5
                                    

Sudah seminggu Mischa mengungsi di apartemen Wendy. Ia tidak mengepak semua barangnya, hanya yang penting saja. Seperti peralatan lukis dan kantor, beberapa tas, pakaian dalam, laptop, dan semua gadget miliknya. Selebihnya, ia beli dengan kalap meski pun ia tidak terlalu membutuhkannya. Ia sudah mulai gila dengan menenteng lima shooping bag Channel di satu waktu, dan memesan peralatan makan antik dari Noritake yang membuat Wendy tercengang. Seakan itu belum cukup, ia sudah memesan meja koktail di Dering Hall. Entah mau ditaruh di mana meja itu. Apartemen Wendy sudah sesak dengan barang-barang yang dibeli Mischa padahal ia baru menetap seminggu saja. Tak terbayang jadinya jika ia benar-benar menetap sebagai roommate Wendy. 

Temannya itu tak mau membayangkannya.

Tak sampai di sana saja, Mischa selalu pulang dengan keadaan mabuk, berantakan, dan penuh dengan linangan air mata. Hidup seakan tidak ada bagus-bagusnya sama sekali untuk Mischa pada saat ini. Wendy yang biasanya menghabiskan waktu dengan menonton sambil menikmati makan malam, kini harus sedikit khawatir apakah temannya itu tumbang di tengah jalan, atau ada hal-hal lain yang menimpanya. Ia selalu awas, menunggu Mischa pulang, memapahnya ke kasur, mengelap sisa make up di wajahnya yang telah meleleh, menyelimuti setelah membuang sepatunya di rak, dan menyiapkan aspirin serta air minum di nakas untuk ia telan esok pagi.

Sifat temannya itu jika sudah diterpa masalah memang membuat miris. Wendy tahu, apa yang dirasakan Mischa saat ini akibat luka lamanya yang belum sembuh. Ia belum bisa menerima jika ia dicintai, diperhatikan, dan sampai dilafalkan begitu saja seenaknya. Dan kejadian itulah yang memancing sisi lain dari Mischa keluar, sisi yang terlalu dalam untuk diketahui di mana letak lukanya.

Sekarang, yang bisa dilakukan Wendy haya menampung Mischa dan memaklumi apa yang ia lakukan. Wendy masih ingat saat Mischa datang bersama dua koper besarnya, ia mengenakan kacamata hitam dan jumper kotak-kotak berwarna lembayung serta topi safari yang warnanya sama sekali tidak cocok dengan pakaian yang dikenakan Mischa. Meski sebagai orang awam, melihat penampilan Mischa seperti itu cukup membuat mata Wendy sakit. Dan detik itu, Wendy tahu ada yang salah pada temannya.

Ia mempersilakan Mischa masuk, dan ia langsung duduk di sofa, hanya diam seakan tiba-tiba ia dikutuk menjadi manekin. Wendy pun langsung pergi ke dapur untuk membuat teh kental hangat, keadaannya sangat kikuk saat itu. Dan ketika ia menyajikannya di depan Mischa, air matanya turun dari balik kacamata. Dipeluknya tubuh Mischa yang biasa terlihat angkuh. Kini sisa keangkuhan itu seakan meleleh seperti air matanya, hilang, dan hanya menyisakan sesosok perempuan ringkih yang kapan saja bisa ambruk jika tidak diberi penopang.

Wendy tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menunggu saat Mischa mau menceritakan semuanya pada Wendy. Meski terlihat sembrono, namun Wendy adalah salah satu orang yang amat peka. Wendy tahu, jika luka akan semakin sakit ketika digaruk atau disentuh.

Mischa hanya perlu waktu, dan waktu adalah salah satu elemen yang bisa menjadikannya orang  yang lebih bijak.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Mischa sudah pulang ke apartemen Wendy dan sedang membuat makan malam di dapur. Kali ini mereka memilih pasta, salah satu resep yang dilihat Mischa di televisi saat Martha Stewart mendemonstrasikannya. Sebenarnya resep yang sekarang sedang diaplikasikan tidak sama persis dengan apa yang Mischa lihat, ia menambahkan spice dan herbs lain yang dibelinya di Radicle.

"Baunya harum," kata Wendy yang kini sedang asik mengendus udara di sekitarnya.

"Akan siap lima menit lagi." Mischa mengaduk spagetti di wajan, dan menyicipi dengan mencelupkan ujung kelingkingnya, "perfect." Senyum kini menghiasi wajah yang terlihat kuyu itu.

Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)Where stories live. Discover now