Delapan Belas : My Career, Your Decision

1.9K 203 8
                                    

Bruk!

Setumpuk majalah ditumpahkan Bu Lydia di meja Mischa. Tampangnya yang sudah angkuh, terlihat lebih kesal dari biasanya. Mischa sudah tahu alasannya tanpa ia harus diberi tahu. Tapi, bukan Mischa namanya jika ia tidak ikut memantik singgungan kecil yang akan berujung besar ini.

"Seriously, Mischa? Kamu nggak masukin Caramelia yang... liat!" Ia menunjuk tumpukan majalah dengan tangannya, "segini banyak muncul di majalah dan beberapa jadi model sampulnya."

Mischa melepas kacamata bacanya dan menatap Bu Lydia tepat pada matanya, "saya nggak suka dia, terlalu biasa untuk model yang sering masuk majalah."

Meri sedikit menggesar kursinya yang tak jauh dari meja kerja Mischa. Beberapa orang yang ada di ruangan, segera pura-pura sibuk dengan kuping yang dibuka lebar-lebar. Gosip sepanas ini hanya terjadi beberapa kali saja dalam sebulan, sayang untuk dilewatkan begitu saja. Sebut saja untuk hiburan memenuhi target deadline.

"Dia harus masuk." Kata Bu Lydia.

"Kenapa Ibu pengen banget dia masuk? Apa emang ada KKN di kantor ini? Kenapa dia harus masuk untuk sesuatu yang nggak mampu dia capai?"

BOOM! Bagaikan bom, ucapan Mischa membuat semua orang kaget dan membelalakan matanya. Belum pernah sekali pun ada orang yang menentang Bu Lydia, termasuk Arnelita sang pemilik perusahaan. Dan kini, Mischa menjatuhkan bom yang tidak pada tempatnya dan membuat muka Bu Lydia memerah karena marah.

"Kamu nggak tahu dia itu anak Pak Suratma? BoD di kantor ini? Kamu mau dipecat padahal baru berapa bulan kamu di sini!"

Dengan enteng, Mischa menyesap kopi yang tadi pagi ia beli.

"Silahkan Ibu adukan ke Pak Suratma. Tapi mungkin ibu lupa, yang meng-hire saya Ibu Arnelita sendiri, dan beliau mempercayai saya untuk mengubah Too Bold yang sedang lesu untuk bisa kembali bangkit dan jadi Top Three seperti dulu. Dan langkah pertama saya, saya nggak mau masukin Caramelia ke jajaran model saya."

Bu Lydia yang sudah murka luar biasa langsung mengeluarkan ponsel dari blazer-nya.

"Ar, kita butuh ngomong." Sepatu hak tinggi keluaran Marc Jacobs-nya melengking di antara kebisuan yang ada. Badai telah pergi, namun efeknya baru akan terasa sebentar lagi.

Suara kursi didorong mendekat pada Mischa yang kembali sibuk dengan kumpulan foto hasil pemotretan pagi tadi.

"Like seriously, Cha? She's Eleanor Young versi kurang high-end! Korupsi lagi dibawa-bawa, dipikir kita ini KPK versi lebih stylish apa gimana?"

Mischa tertawa setelah mendapati temannya itu mengataan hal-hal absurd hasil terbang ke Singapura untuk menonton salah satu film Hollywood breakthru tentang asia dan membuat review-nya untuk majalah bulan depan.

"Gue nggak peduli." Katanya.

"Oh iya! Elo emang nggak pernah peduli kalo urat-urat di leher gue hampir putus semua nahan omongan, lo juga nggak peduli gimana masa depan lo di sini bakalan kayak gimana, nggak kayak gue. Tapi, Cha, gue masih pengen dapet ilmu-ilmu ajaib lo, jadi plis jangan buat diri lo dipecat."

Mischa tersenyum pada akhirnya, dan tertawa. "Gue dipecat? That's not gonna happen."

Telepon di meja berdering, Meri seketika terkesiap dan terdiam. "Gue nggak akan angkat." Katanya.

"Iyalah, ini kan telepon gue. Udah balik ke meja lo."

Mischa mengangkat telepon dan menjawab sesingkat mungkin, wajahnya tidak bisa dibaca dan itu membuat Meri khawatir.

Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)Where stories live. Discover now