Dua Puluh Lima : Lembang, Pelarian

2K 175 9
                                    

Ps. Maaf lama menunggu, tolong dimaklumi karena memang yang nulis ini slow writer . Nulis ketika sempat dan pas mood sedang pas. Selesai baca Ganjil Genap, ide langsung lancar. Buat kalian yang belum baca, bacalah! Dan semoga kalian suka chapter ini, terima kasih sudah menunggu dan makasih sudah menyemangati. I really appreciate it! tolong di baca ceritaku yang lain, selagi menunggu ini update. Sekali lagi, enjoy! :)))))

Terkadang, ada hal-hal di luar kemampuan kita yang datang tanpa ampun silih-bergati tanpa memberi jeda untuk bernapas barang sedikit saja. Rasanya seperti petir disiang bolong, dihantam godam, dipenyet seperti penyetan Surabaya yang pedas sampai membuat air mata mengalir. Mischa mengeluarkan botol moonshine dari cabinet, menuangnya ke gelas, dan mengenggaknya sedikit. Tenggorokannya terasa seperti terbakar hebat. Kepalanya tergeletak di atas pantry.

"Lo udah teler, Cha. Udah ya..." Arthur mengambil gelas highball dari tangan Mischa. Namun si empunya, memegangnya erat. Memang ia sudah sedikit tumbang, namun ia masih memiliki kekuatan untuk bersikeras menghabiskan cairan di gelas yang kadar alkoholnya sangat tinggi itu.

Arthur terdiam dan duduk di sebelah sepupunya, tak ada suara apa pun selain bunyi mesin kopi yang baru saja ia nyalakan.

"Gue mau muntah." Arthur langsung membopong Mischa yang lemah ke kamar mandi. Ia mendudukan Mischa ke toilet, dan cairan asam dalam perutnya sudah keluar dengan sempurna.

Berkali-kali ia mengerang, terbatuk, dan sampai akhirnya duduk lemas bersandar.

"Teh anget mau?"

Mischa menggeleng lemah.

"Mati aja."

"Cha," Arthur memegang kedua pipi Mischa. Terlihat wajah kuyu dengan kedua mata bengkak yang tak pernah Arthur lihat sebelumnya. "Gue nggak tau seberat apa masalah lo, tapi sekarang lo butuh istirahat." Mischa mengerang.

Arthur membawa tubuh sempoyongan Mischa ke kamar,

"Lo tau, drunk talk is a honest talk?" Mischa teryawa seperti orang kesetanan. Arthur duduk di sofa, memerhatikan Mischa yang bersandar pada kasur.

"Lo mau ngomong?" tanyanya, Mischa menatap Arthur pasrah.

"Gue pura-pura nikah sama Nate. Bertahun-tahun gue simpan semua ini tanpa ada satu pun keluarga yang tau. Apa gue otomatis jadi brengsek?"

Arthur melepaskan pandangannya dari Mischa.

"Iya kan?" tuntut Mischa.

"Kenapa?" tanyanya pada akhirnya.

"Karena gue capek. Gue capek pura-pura oke padahal gue nggak, gue capek dituntut ini-itu, dikasihanin orang-orang yang kenal sama gue, gue capek sama diri gue sendiri. Konsultasi seminggu dua kali, mau muntah nggak sih lo? Denger jokes satir yang sebenernya nyindir gue berkali-kali, ketawa orang-orang di luar sana bahkan masih bisa gue dengar jelas. Sebenarnya dosa gue itu apa sih?"

Rambut Mischa yang kusut terurai menutupi sebagian wajahnya. Ia menangis.

"Orang-orang di luar sana beranggapan karena gue banyak duit, keluarga gue kaya, otomatis buat hidup gue gampang karena gue punya banyak privilege. Coba... gue tanya ke elo, is it?"

"Gue salut sih sama lo bisa nutupin semua ini lama."

Mischa naik ke kasur, melilit tubuhnya dengan selimut dan menatap ke langit-langit. Ia tahu sekarang ia sedang mabuk, kepalanya pusing bukan main, dan perutnya panas. Tapi ia masih mampu mengatakan apa-apa saja yang dari dulu ingin ia ceritakan pada orang yang bisa ia percaya. Salah satunya Arthur.

"Lo bukan satu-satunya orang yang pernah liat gue berantakan kayak gini. Nostalgia, ya?" Mischa tertawa. "Gue nggak tau lebih parah dulu, atau sekarang jadinya."

Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)Where stories live. Discover now