Dua Puluh Empat : News

1.6K 178 6
                                    

Ps. Terima kasih untuk yang masih setia menunggu cerita ini berlanjut, dan untuk pembaca baru. I hope you enjoy my messy story. Butuh waktu lama buat kembalikan fokusku ke cerita ini. Mau di bawa ke mana, mau dihentikan gitu aja atau nggak. Sebenernya kalau ide udah ada sejak lama, tapi eksekusinya suka kadang belok di tengah jalan. Dan memang harus nunggu momen yang pas buat nulis. Contohnya ketika lagi stress dengan banyak hal, malah bisa nulis lancar. Hanya satu hari, nggak sampai malah. Cuma berapa jam aja chapter ini selesai ditemani hujan sama aqua botol. Ya, Bali sepanas itu memang. Meski hujan tetep aja kepanasan jadi harus buat badan hydrate dengan minum air banyak-banyak. Oke sudah omong kosongnya, silakan dibaca ceritanya, semoga suka. Sekali lagi, terima kasih banyak!

***


Tanggung jawab.

Membayangkan hal-hal apa saja di masa depan yang harus ia jalani dengan beban berat seperti itu membuat tenggorokannya tersumbat seperti ada batu yang mengganjal, tak membiarkannya dapat bernapas dengan baik. Jika boleh memilih, mungkin ia ingin pergi ke suatu tempat di mana tak seorang pun tahu siapa dirinya, mungkin seperti pulau terpencil. Mengganti identitas diri, dan menjadi pribadi baru. Memulai semuanya dari nol kembali, merintis hobinya dari awal kembali, mungkin seperti bernyanyi di bar kecil dekat laut yang pengunjungnya hanyalah nelayan-nelayan yang mengeluhkan tentang cuaca buruk yang tak bisa membuat mereka melaut selama berhari-hari sambil menenggak gelas-gelas besar berisikan bir dingin. Tapi itu tadi, tanggung jawab. Ia masih memiliki beban moral yang harus ia lakukan atas bentuk tanggung jawab itu sendiri.

Di hadapannya sudah ada wanita dengan gaun putih yang sudah terbuka tudungnya. Ia tersenyum, menyiratkan satu tujuan pasti untuk hubungan seumur hidup mereka. Ia tidak bisa mundur, sama saja seperti pengecut kalau begitu. Semua jalan untuk berlari sudah dibeton sedemikian rupa. Itu tadi, dengan sebuah kata maha dahsyat, tanggung jawab.

Sudah sah. Begitu kata pendeta, semudah itu.

Di hadapannya, wanita itu siap menerima bukti sah mereka. Wajahnya mendekat, mereka menempelkan bibir satu sama lain, memangut enggan.

Riuh tepuk tangan dan teriakan selamat menggema ke seluruh ruang gereja. Bagaimana ia bisa secara sadar berdiri di altar pun, ia tak bisa mengingatnya dengan jelas.

Mereka berjalan berdampingan, dengan lengan sang wanita yang melingkat erat sebagai tanda kepemilikan. Buket bunga siap dilempar, rombongan wanita dengan gaun beraneka warna siap menangkap yang katanya masa depan mereka selanjutnya.

"Aku yakin anak kita nanti perempuan."

Suaranya merdu.

"Mirip aku." Lanjutnya.

Dan buket itu melambung, ditangkap sepasang tangan yang pemiliknya tertawa riang.

"Dan juga dirimu."

Nate diam, sang wanita lantas tersenyum.

Anak katanya. Satu sosok kecil kopian manusia yang membuat satu hidup perempuan yang dulu pernah bersamanya hancur porak-poranda. Terluka dalam meski tak ada bekas nyata.

Rasa sesak itu datang kembali, seperti malam di mana ia baru saja pulang dari Studio dan menemukan Sonja sudah ada di apartemen dengan rambut tergulung ke atas. Ia menyuruh Nate duduk di sebelahnya. Nate menaruh ponsel di kantung jaketnya ke meja, ia sedikit bingung, namun ia menurut. Sonja duduk dihadapannya, ia mengeluarkan benda kecil panjang yang kemudian ia taruh di atas meja.

Nate tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana satu scene yang dulu ia anggap jauh dan tak akan pernah terjadi dikehidupannya, akan bermain lakon kali ini.

Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum