Pulang Sendiri

8.9K 465 3
                                    

Badan ini hampir habis tenaganya, terkuras gara-gara pertandingan sepakbola tadi. Tapi apa daya, masih beberapa kilometer lagi sampai di rumah. Mana hari semakin malam lagi...

Laju sepeda yang kunaiki kuperlambat. Kuamati rumah-rumah kiri-kanan jalan untuk melihat jam dindingnya. Tidak mudah memang, tapi dengan pengalamanku melakukan hal ini bertahun-tahun sejak SD, beberapa saat kemudian dari sebuah rumah kecil dengan halaman sempit kudapati jam dindingnya menunjukkan kalau sekarang jam tujuh.

Aku menghela napas lalu menggenjot lagi sebisanya sepeda tuaku. Kalau saja aku anak tunggal, tentu sekarang tinggal melihat jam di tangan saja... apa daya... Kubiarkan saja kakiku bergerak otomatis sambil mengamati sekitar dengan melamun, melamunkan pengandaian jadi anak tunggal yang sangat berkecukupan, seperti si Arik tetangga sebelah yang sekarang sekolah di kota yang jauh dari sini. Kata mas Bambang, anak itu tinggal di rumah kontrakan yang ia sewa sendiri lengkap dengan pembantu, ditambah lagi dengan sepeda motor baru yang rasanya baru kemarin masuk TV.

Enaknya... Ingin rasanya jadi seperti dia, tapi tak mungkin. Hidup dalam keluarga 'besar' banyak susahnya, ingin ini tak bisa, ingin itu tak bisa, ingin.....Aarrrgh! Hati nurani yang baik memaki-maki diriku sebagai anak yang tak tahu diuntung. Masih mendingan hidupmu sekarang daripada anak-anak yang tidak punya keluarga! Anak tak berbakti!

Malam semakin larut, jalanan semakin sepi, rumah-rumah pinggir jalan pun digantikan sawah dan kebun-kebun yang rimbun. Rumahku masih jauh karena terletak di ujung utara dari desaku, sedangkan desaku sendiri jauh ke utara dari jalan utama yang sudah dari tadi kutinggalkan. Kalau saja lawan pertandingan tadi bukan anak-anak desa sebelah yang sombong itu, mana mau aku ikut jadi pemain dadakan hingga terpaksa pulang malam-malam seperti ini. Yang lainnya sih enak pulang duluan numpang truk bapaknya Dani yang kebetulan lewat.

"ngik.....ngik....."

Tiba-tiba kudengar suara mencicit lirih kayuhan sepeda yang sepertinya tidak pernah dikasih pelumas dibelakangku. Spontan aku menoleh untuk melihat, siapa tahu orang yang kukenal.

Tidak ada siapa-siapa.

Ah, tidak mungkin ada orang. Aku kembali melihat ke depan dengan muka kecut. Paling karena terlalu lelah aku jadi mendengar yang tidak-tidak, pikirku melogiskan. Jalan tengah sawah dan kebun ini kan ramainya cuma waktu pagi dan sore. Segera saja kufokuskan mataku ke jalanan di depan yang remang-remang diterangi lampu sepeda, bintang dan kadang-kadang bulan sabit yang timbul tenggelam tertutup daun-daun pohon.

"Ngiik.....Ngik....."

Benar-benar ada suara kayuhan sepeda dibelakang! malah lebih keras daripada sebelumnya. Secepat kilat kutolehkan muka kebelakang dan masih tidak ada satupun benda yang bergerak, yang ada hanyalah bentangan jalan tanah agak berumput. Aku kembali melihat ke depan. Rasanya bulu kudukku tegang berdiri. Tenang, tenang, tidak apa-apa, tidak ada apa-apa. Tidak ada yang ditakutkan, aku pembera.......

" NGIIIKK!!........ ngiik.....Ngiik.........."

...sekarang aku benar-benar takut.......

Bulu kuduk sudah berdiri dari tadi, malah rasanya membeku. Membeku karena badan rasanya diguyur air dingin pegunungan. Tanganku mencengkeram erat setir sepeda, tak mau berpisah. Keringat timbul berbulir-bulir di dahi lalu leher dan telapak tangan. Keringat dingin.

Jantungku berdetak dengan kencang. Hanya satu hal yang terlintas dibenak yang panik ini. Hantu. Tanpa dikomandoni siapa-siapa kugenjot sepeda secepatnya sekuatnya. Aku tidak lagi memperhatikan kondisi jalan. Jalan yang masih tergenang air hujan siang tadi kulibas, tanjakan kecil kulewati sangat cepat hingga setelah sampai di puncaknya aku merasa terbang melayang untuk beberapa saat. Sekarang aku hanya ingin menjauh dari sumber suara itu secepatnya, walaupun sepedaku berkeriutan melapuk termakan usia.

Creepypasta IndonesiaWhere stories live. Discover now