Eudaimonia

6.9K 384 16
                                    

Aku terbangun.

Biasanya, aku tidak akan dibangunkan kecuali ada hal-hal baru yang perlu kulakukan. Entah apa rencana-Nya kali ini, membangunkanku ditengah kegelapan malam seperti ini.

Aku meregangkan tubuhku setelah sekian lama tertidur. Aku memperhatikan wujud yang kali ini diberikan oleh-Nya. Mungkin butuh sedikit penyesuaian, tapi aku pasti akan terbiasa dengan keempat kaki ini. Aku tidak pernah bertanya alasan di balik setiap wujud yang kudapat, karena aku yakin sebagian besar tidak ada alasannya.

Setelah sedikit mengasah kuku, aku keluar dari tempat gelap ini. Aku berjalan tanpa arah yang jelas, tetapi aku tahu aku pasti akan sampai pada tujuanku.

Itu dia, manusia yang pertama perlu kutemui.

Sebenarnya, pria itu belum lanjut usia. Tapi kini ia terbaring di kasur rumah sakit. Nafasnya sudah begitu pendek. Orang lain akan mengira ia sedang terserang asma seandainya tidak mendengar apa yang kudengar: detak jantung yang terlalu cepat.

Aku melangkah mendekatinya, tepat ketika perawat terakhir menutup pintu. Perlahan, aku menaiki kasur pria itu, berusaha untuk tidak mengagetkannya.

Pria itu melihatku. Dengan nafas yang tersendat, ia mencoba bicara.

"Apakah kau... Maut?"

"Bukan," jawabku. "Aku hanya mengajukan pertanyaan."

Maka aku pun bertanya, "Apa yang kau kejar dalam hidup ini?"

"Aku... mengejar kebahagiaan."

"Apa yang kau lakukan untuk itu?"

"Aku mengumpulkan harta untuk menjamin kebahagiaanku."

"Berhasil kah itu?"

Pria itu menggeleng, wajahnya terlihat sedih. Aku turun dari kasurnya, melangkah menjauh ketika suara angin memberitahuku bahwa sabit-Nya telah terayun.

Tidak ada yang baru kali ini.

"Apa yang kau kejar dalam hidup ini?"

"Aku mengejar kebahagiaan."

"Apa yang kau lakukan untuk itu?"

"Aku menikah, berkeluarga, dan memiliki anak dan cucu."

"Berhasil kah itu?"

Wanita yang telah tua renta itu menggeleng, "Tidak. Hubunganku dengan suamiku tidak lagi seperti dulu. Anak-anakku kini juga telah berkeluarga, tetapi aku tidak pernah lagi melihat mereka."

Aku meninggalkan wanita itu dalam kesendiriannya di rumah kecil itu. Aku membiarkan sabit-Nya mengayun ketika rumah itu terbakar dan meledak. Aku melewati begitu saja orang-orang yang ramai memberikan bantuan, berjalan dengan tenang tanpa ada orang yang memperhatikan.

Aku masih menemukan hal yang baru. Kedua orang yang telah kudatangi memberikan jawaban yang hampir mirip dengan orang yang pernah kudatangi dulu. Tidak ada yang baru.

Aku melanjutkan perjalananku yang tanpa arah. Salju telah turun ketika malam tiba, diiringi nyanyian-nyanyian doa. Sepertinya besok adalah hari yang penting, tetapi aku tahu di daerah ini hari penting seperti itu tidak mendapat hari libur yang formal. Karena itu, seharusnya aku tidak heran melihat pemuda itu berjalan menyebrangi jalan raya yang sepi.

Tapi pemuda itu melakukan sesuatu yang menarik perhatianku. Ia berhenti ditengah penyebrangan, memandang kosong ke arah mobil yang sedang melaju cepat. Aku memandang ke sekitarku, mencari-cari siapa tahu Ia telah berada disekitar sini dengan membawa sabit-Nya. Tapi Ia tidak ada disini.

Mobil itu mengerem perlahan, dan berhenti beberapa meter dari tempat pemuda itu berdiri. Supirnya turun dari mobil dan bertanya apa yang dilakukan pemuda itu, tetapi pemuda itu malah melanjutkan menyeberang tanpa menjawab pertanyaan, melewatiku tanpa ia sadari.

Creepypasta IndonesiaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu