2. Luka

23K 1K 30
                                    

Jangan pernah menjanjikan bahagia, jika pada akhirnya hanya menorehkan luka.

●○○○●

Senyum masih terpasang di wajah Karen ketika menyusuri sebuah pasar malam bersama Kavi, adiknya. Kavi benar-benar menepati janjinya untuk mengajak Karen jalan-jalan, menikmati gemerlap langit ketika malam hari.

Matanya yang sembab akibat menangis hebat, tak menyurutkan semangat Karen untuk menjelajahi tempat yang sangat disukainya, pasar malam. Bagi Karen, tempat ini adalah tempat yang bisa membuatnya tertawa lepas tanpa teringat beban yang di pikulnya. Ia bisa melihat beraneka permainan dan tentunya makanan.

Kavi yang sedari tadi melihat ke arahnya kakaknya bernapas lega, setidaknya ia bisa menghilangkan kesedihan kakaknya walau hanya sesaat. Tak bisa dipungkiri jika ia juga merasakan sakit ketika melihat kakaknya meneteskan air mata, dan ia benar-benar bertekad untuk menghabisi laki-laki itu jika akan menyakiti kakaknya lagi.

Kavi mengangkat sebelah alisnya ketika menyadari sedari tadi Karen menepuk lenganya.

"Kenapa?" Tanya Kavi

"Mau itu,"

Kavi mengikuti arah yang ditunjuk oleh Karen, kemudian menggelengkan kepalanya ketika mengetahui apa yang diinginkan kakaknya itu. Permen kapas. Walaupun disini ia yang menjadi adik, kini ia juga merangkap sebagai kakak bagi Karen. Tapi tidak apa-apa, yang penting Karen senang.

"Kakak tunggu disini, biar Kavi yang beli. Oke?"

Karen mengangguk antusias ketika melihat Kavi menyanggupi permintaannya, jarang-jarang adiknya itu menjadi orang penurut seperti itu. Jadi Karen harus bisa memanfaatkan keadaan ini, sebelum adiknya itu kembali menjadi orang yang menyebalkan.

Pandangan Karen mengedar ke seluruh penjuru pasar malam, sangat ramai. Dan Karen sangat menyukai keramaian. Karena, jika ia berada di tengah keramaian, ia tak pernah merasa sendirian. Tatapannya terhenti ketika melihat bianglala, matanya berbinar ingin menaiki wahana tersebut. Ia membalikkan badannya berniat menghampiri Kavi dan mengajak adiknya menaiki bianglala, namun nasib malang menimpanya. Karen malah menabrak seseorang yang membuat Karen meringis karena dahinya terbentur dada orang tersebut.

"Lo nggak apa-apa?"

Tubuh Karen menegang saat mendengar suara tersebut, walaupun beberapa tahun tak pernah bertemu, Karen masih hapal siapa pemilik suara berat ini. Dan mengapa pula harus bertemu dalam keadaan wajahnya yang sedang kacau.

Laki-laki tersebut mencoba memegang kedua bahunya, namun ditepis kasar oleh Karen. Karen memundurkan posisinya beberapa langkah dari laki-laki itu. Karen mengelus dahinya kembali seraya ringisan dari bibirnya yang tak berhenti, ia yakin jika dahinya saat ini merah.

"Lo beneran nggak apa-apa, Ren?" Ulang laki-laki tersebut

"Nggak apa-apa."

Karen membalikkan badannya untuk segera pergi dari tempat tersebut, namun lagi-lagi langkahnya harus terhenti saat seseorang mencekal pergelangan tangannya.

"Lepasin!!!" Desis Karen

"Gue gak bakal lepasin lo, sebelum lo dengerin penjelasan gue. Demi Tuhan! Semua itu salah paham, Ren!"

"Kalau emang salah paham, kenapa gak dari dulu lo jelasin?"

Vidi diam.

"Kenapa baru mau lo jelasin setelah 3 tahun udah berlalu? Itu semua udah Basi tau gak!"

Karen menatap marah ke orang tersebut, "sekarang gue gak peduli itu salah paham ataupun enggak. Gue gak peduli itu bukan kesalahan lo atau enggak. Karena ketika kepercayaan yang gue kasih gak pernah dihargai, jangan pernah minta untuk dihargai."

K H I A N A TWhere stories live. Discover now