16. Ingin

4.4K 268 8
                                    

Inginku adalah memilikimu, jadi mau kah kamu mengabulkan permintaanku?

●○○○●

Sebuah napas lelah mulai terdengar, menunjukkan bahwa semua kenyataan menguras habis seluruh pikirannya. Hatinya memang masih belum merelakan, namun kenyataan memaksanya untuk melepaskan.

"Kenapa ngga diperjuangkan?"

Vidi menoleh ke arah Alena yang pandangannya fokus ke depan.

"Kalau lo emang cinta, kenapa malah dilepaskan?" Tak lama Alena menoleh, "gue tahu lo masih cinta sama Karen, lo masih sayang sama dia. Tapi kenapa gak lo perjuangkan lagi? Meskipun rival yang harus lo hadapi adalah kakak sepupu gue, tapi semua orang berhak untuk memperjuangkan cintanya bukan?"

Vidi terdiam.

"Karena kodratnya, laki-laki itu berjuang Vid. Perempuan adalah hal berharga yang pantas untuk diperjuangkan, bukan malah dilepaskan. Kak Rafa memang sepupu gue, tapi tenang aja! Gue gak bakal mihak dia kok."

"Sekeras apapun gue berjuang, perasaan Karen ke gue udah beda, Len!" Vidi mengusap wajahnya kasar, "gue gak mau terlalu berharap atas semua imajinasi gue sendiri. Gue berusaha untuk menerima kenyataan kalau sekarang di mata Karen gue hanya teman, tidak lebih dan tidak akan pernah lebih!"

"Setidakny---"

"Gue rela kok Len hanya dijadikan dia sandaran kalau dia sedih, gue siap untuk dia kapan pun dia butuh. Karena gue sadar, hubungan yang dulu pernah terjadi, takkan pernah terulang kembali." Vidi tersenyum, "gue rela cuma jadi temannya, itu sudah lebih dari cukup untuk gue."

●○○○●

Semenjak kejadian di pasar malam, kepala Karen masih saja terasa sakit. Ia ingin mengatakan hal ini kepada kedua orang tuanya, tetapi Karen tidak mau jika melihat orang tuanya panik. Jadi, ia memutuskan untuk menahannya, berharap tak lama lagi rasa sakit itu akan hilang.

Matanya memejam, saat merasakan hantaman itu datang lagi. Tangan kirinya mengepal, sedang tangan lainnya memegang erat selimut yang ia kenakan.

Untung saja pagi ini, tidak ada jadwal kuliah. Sehingga ia memilih berbaring di kamarnya, mengistirahatkan tubuhnya yang mungkin terlalu lelah hingga membuat kepalanya merasakan sakit seperti ini.

Hingga tak lama, rasa sakit itu mulai mereda bersamaan dengan ponselnya yang bergetar. Ia meraba bagian lain kasurnya, hingga menemukan benda persegi kecil itu.

Nama Rafa tertera disana, Karen menimbang-nimbang untuk mengangkat panggilan tersebut atau tidak. Dan pada akhirnya, Karen memutuskan untuk mengangkatnya.

"Halo..."

"Ada apa, Raf?" Seketika, Karen langsung membungkam mulutnya. Saat menyadari suaranya terdengar sangat serak.

"Are you okay, Ras? Suara kamu kok serak gitu?" Tanya Rafa.

Karen berdeham pelan, "aku baik-baik aja kok, Raf. Kamu tenang aja!"

Dan Karen menghela napas lega saat suaranya kembali terdengar normal. Kemudian, ia berusaha bangkit dari posisi berbaringnya. Ia menyandar pada kepala ranjang, dan suara ringisan lolo dari bibirnya saat denyutan itu datang lagi.

"No! Kamu gak baik-baik aja. Buktinya aku denger suara kamu kayak nahan sakit gitu." Di seberang sana, Rafa merasa khawatir saat mendengar ringisan Karen. Rafa menduga jika Karen tidak baik-baik saja.

"I'm fine, Raf! Aku baru bangun tidur. Jadi ada apa kamu telfon?"

Terdengar hembusan napas kasar, "aku mau ajak kamu jalan, tapi sepertinya kondisimu tidak memungkinkan."

"Kemana?" Suara Karen berubah antusias.

"Sebuah tempat. Tapi aku batalin aja!"

"Kok gitu? Aku baik-baik aja, Raf! Jadi, jangan dibatalin, oke?"

"Bener kamu ngga apa-apa?"

"Iya!" Jawab Karen mantap, "jadi jangan dibatalin yah?"

"Oke, nanti aku jemput."

"Yeay! See you soon, Raf."

Panggilan terputus, tanpa teringat kondisi sebelumnya, Karen langsung berdiri. Dan kepalanya langsung berdenyut akibat gerakan tiba-tiba tersebut. Ia memegangi pinggiran nakas di sebelah tempat tidurnya, kemudian beralih meraba lemari yang berada tak jauh dari posisi awalnya.

Hingga ia sampai di meja riasnya, kemudian mendudukkan diri disana. Karen melihat sebuah pantulan wajah yang begitu pucat. Kantung matanya begitu besar, karena beberapa hari ini ia sulit untuk tidur karena sakit di kepalanya itu.

Tangannya terangkat ke arah wajahnya, mengusap bagian kantung mata yang dari hari ke hari semakin menghitam. Kemudian meringis pelan, saat melihat kondisi wajahnya yang seperti ini. Tak mungkin ia akan keluar bersama Rafa dengan wajah seperti ini, yang ada Rafa akan langsung membatalkannya dan menyuruh dirinya untuk istirahat.

Big no!

Bagaimana pun caranya, ia harus bisa menyembunyikan wajah pucat ini. Karen langsung membersihkan dirinya menuju kamar mandi. Setelah itu, ia memilih pakaian yang akan di pakainya. Dan pilihannya jatuh pada celana jeans dan kaos warna biru berlengan panjang. Kemudian, ia memoleskan wajahnya dengan make up untuk menyamarkan wajah pucatnya.

"Better," gumam Karen saat melihat hasil akhir di wajahnya.

●○○○●

Rafa mengetuk pelan pintu dihadapannya, dan tak lama Karen keluar dengan pakaian santainya.

Karen memberikan sebuah senyuman untuk Rafa, begitu pula sebaliknya.

"Siap?" Tanya Rafa.

"Siap dong!"

Rafa tertawa mendengar jawaban Karen, dan secara tiba-tiba tangannya menggenggam tangan Karen yan terayun di udara.

Sejenak, Karen membeku atas perlakuan tiba-tiba Rafa. Kemudian ia menoleh, dan mendapati Rafa tersenyum ke arahnya hingga lesung pipinya terlihat.

"Ayo!"

Merek berdua berjalan beriringan menuju mobil Rafa. Rafa membuka 'kan pintu untuk Karen. Setelah Karen duduk dengan nyaman, ia memutari mobil menuju posisi kemudi.

"Mau kemana, sih?" Karen menoleh ke arah Rafa yang mengemudi dengan ekspresi serius.

Rafa tidak menjawab, hanya tersenyum kecil.

"Ditanya malah senyum," cibir Karen sambil mendengus pelan melihat reaksi Rafa.

Rafa tertawa pelan mendengar cibiran Karen, "nanti kamu bakal tahu."

Setelah mengedikan bahu, Karen mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Melihat aktivitas orang-orang sepanjang jalan yang dilaluinya. Matanya mencuri pandang ke arah Rafa yang juga memilih untuk diam, fokus pada kegiatan menyetirnya.

Sedangkan Rafa tersenyum dalam hati, saat beberapa kali memergoki Karen tengah mencuri pandang ke arahnya. Bukannya ia ingin mendiamkan Karen, namun ia hanya tak ingin Karen terus memborbardir nya dengan pertanyaan kemana mereka akan pergi. Ia ingin memberi sebuah kejutan untuk Karen. Jadi, ia berusaha mati-matian untuk tidak mengungkapkan tujuannya pada Karen.

"Raf..."

Rafa menoleh sekilas, kemudian kembali fokus menyetir.

"Kenapa?"

"Ngomong kek, bosen tau!"

"Mau ngomongin apa?" Rafa menaikkan sebelah alisnya

"Apa aja, yang penting gak sepi!" Sahut Karen.

"Kalau ngomongin antara aku dan kamu, gimana?"

●○○○●

Holaaa

Masih ada gak yang nungguin cerita ini?

Semoga aja ada, wkwkwk.

Untuk chapter ini, bisa gak 100 vote? Kalau sampai target besok langsung up! *ngarep 😂😂😂

Fany Faradila,
01 Maret 2018

K H I A N A TKde žijí příběhy. Začni objevovat