27. Perih

7.5K 560 77
                                    

Akan ada saatnya rasa perih itu datang, ketika kita terlalu terlena dalam kebahagiaan.

●○○○●

Tangan Rafa mulai membuka handle pintu sebuah kamar rawat yang katanya merupakan tempat sepupunya itu di rawat.

Dengan pelan, ia membukanya dan menemukan beberapa sanak saudaranya yang tengah bercengkrama di dalam. Ia tersenyum simpul kemudian menyalami para tetuah yang berada disana. Rafa kemudian mengalihkan atensinya ke arah Alena yang tengah memejamkan matanya, menandakan bahwa Alena belum tersadar. Kemudian, Rafa menduduki kursi yang kebetulan kosong di sebelah kasur Alena.

"Kenapa bisa seperti ini, Tan?" Tanya Rafa yang lebih ditujukan pada Renata--Mama Alena.

"Kecelakaan beruntun, Raf. Awalnya ada mobil yang oleng dan menabrak pembatas jalan. Dan, yah..." Renata tersenyum pedih mengingat kronolgi peristiwa itu, "mobil Alena tepat berada di belakang mobil itu, untungnya Alena langsung banting setir ke sisi jalan lainnya. Dan lebih bersyukur lagi, jalanan dalam keadaan lengang. Jadi, mobil Alena gak ditabrak dari belakang."

"Dan kamu tau, Raf? Mobil yang berada di depan Alena itu rusak parah, Tante masih ingin cari tau siapa pengendaranya." Tambah Renata setelah mengatahui tak ada tanda-tanda tanggapan dari Rafa.

Dan obrolan mereka harus terhenti saat melihat pergerakan tangan Alena. Semua kerabat menghambur keluar kecuali Renata dan Rafa saat dokter meminta mereka untuk keluar dari kamar rawat Alena.

"Ibu gak perlu khawatir, Alena baik-baik saja. Dia hanya mengalami shock akibat kecelakaan tersebut. Saya minta untuk jangan terlalu membebankan pikiran yang berat pada Alena. Saya permisi." Dokter tersebut melangkah pergi, menyisakan kesunyian di kamar itu.

"Ma, bisa tinggalin kita berdua?" Pinta Alena pada sang Mama.

Renata mengangguk, ia rasa anaknya butuh ruang untuk menyelesaikan masalah dengan Rafa. Setelah dirasa mamanya benar-benar pergi, Alena menatap Rafa dengan kecewa. Hal itu membuat Rafa mengernyit bingung.

"Kenapa kamu lakuin ini, Kak?" Lirih Alena pelan, "kenapa kamu ngelakuin hal seperti ini?"

Rafa semakin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan Alena. Pikirannya mengingat kembali apa yang telah ia perbuat belakangan ini. Namun, tak ada satu pun yang menurutnya salah.

Jadi, apa kesalahannya?

"Kenapa kamu harus nyiptain luka pada orang yang udah tulus sama kamu?"

"Maksud kamu apasih, Len?" Desis Rafa yang merasa bahwa Alena terlalu berbelit-belit menyampaikan maksudnya.

Raut wajah Alena berubah sinis, dan hal itu membuat Rafa semakin penasaran tentang apa yang akan disampaikan perempuan itu.

"Jadi, kakak mau tau secara to the point?"

"YA!"

"Oke," Alena menelan ludahnya susah payah, bayang-bayang kecelakaan itu membuat matanya berkaca-kaca, "tentang Karen."

Tubuh Rafa langsung menegang, pasokan udara di sekitarnya seakan terhenti saat nama itu disebutkan. Jantungnya berpacu dengan cepat saat menyadari perkataan Alena.

"D-dia...dia--"

Tiba-tiba tawa sinis masuk kedalam pendengaran Rafa, dan itu berasal dari Alena, "kenapa? Udah inget?" Tanya Alena, "udah inget kalau kakak ngelupain janjinya sama Karen?" Perkataan Alena menembak tepat sasaran, "udah inget kalau sebenarnya hari ini ada janji sama Karen tapi kakak malah nemenin mantan yang dulu udah sia-siain kakak? Lebih milih orang yang udah buang kakak daripada orang yang mencintai kakak dengan tulus?" Alena terus saja mendesak Rafa dengan serentetan pertanyaan yang sayangnya sangat tepat sasaran.

"Kakak lebih milih nemenin perempuan ular itu, dibandingkan perempuan yang saat ini berstatus sebagai pacar kakak? Iya 'kan??!" Dengan emosi yang naik turun, Alena mengungkapkan semua yang ada dalam pikirannya, tak peduli bagaimana perasaan Rafa. Tak peduli dimana kesopanannya pada saudara yang jauh lebih tua. Nyatanya, sepupunya itu harus disadarkan atas kekeliruan yang dilakukan beberapa waktu belakangan ini. Karena, Alena tak mau akan semakin banyak orang yang tersakiti akibat ketololan Rafa sendiri.

Rafa masih saja membeku, tubuhnya seakan mati rasa begitu menyadari kesalahannya. Ia seperti dihadiahkan sebuah bom, yang detik itu juga meledak tepat di hadapannya.

"Kakah malah asik-asikan meluk perempuan ular itu dibandingkan dengan menepati janjinya sendiri." Ungkap Alena secara gamblang, tak mempedulikan bagaimana ekspresi Rafa saat ini.

"Ke-kenapa kamu bi-bisa tahu?" Suara Rafa tersendat saat mengucapkan kalimat itu. Ia terkejut mendapati Alena mengetahui aktivitasnya. Ia seperti terdakwa yang kelakuannya tertangkap basah oleh polisi.

Alena tersenyum licik, "aku ngeliat semuanya." Kemudian seringaian terbit di wajah Alena, "dan Kakak tau apa yang lebih mengejutkan?"

Ucapan terakhir Alena membuat perasaan Rafa semakin tak enak, bulu kuduknya meremang.

"Karen juga mengetahuinya."

Detik itu juga, aliran darah di tubuh Rafa berhenti, napasnya terasa sesak. Ia memandang kosong ke arah Alena yang saat ini tatapannya berubah menjadi sendu.

"Semenjak Amanda datang, fokus Kakak ke Karen berkurang, Amanda selalu menjadi prioritas Kakak. Gak peduli, bagaimana pun kondisinya." Mata Alena berkaca-kaca mengingat percakapannya dengan Karen semenjak kedatangan Amanda, "dan Kakak tahu bagaimana tanggapan Karen mengenai semua ini?"

"Ketika aku menanyakan bagaimana tanggapannya atas semua ini, dengan berbesar hati dia menjawab, itu semua bukan masalah buat dia. Dengan bodohnya dia mengatakan bahwa mungkin Kakak tengah melepas rindu dengan sahabat kecilnya, walaupun sebenarnya Karen tahu kalau dia..." Alena memejamkan matanya, "...cinta pertama Kakak."

"Aku menceritakan siapa Amanda tersebut, dan apa hubungannya dengan Kakak. Karena Kakak gak pernah menjelaskan siapa Amanda bagi hidup Kakak. Dia percaya pada Kak Rafa bahwa Kakak pasti bisa menjaga kepercayaannya, tapi nyatanya..." Alena menggeleng pedih, "Kakak malah lupa diri. Dengan seenaknya sering membatalkan janji dengan Karen hanya karena ingin menemani Amanda."

Kemudian tawa sumbang menggema di kamar tersebut, "rasanya aku pengen nangis kalau dia masih sempat-sempatnya nunjukin senyum walaupun sebenarnya hatinya kecewa. Dia gak pernah ngeluh kan? Karena kepercayaannya udah seutuhnya buat Kakak. Cukup sekali aku nyakitin perempuan sebaik Karen, dan aku mohon jangan sakiti dia Kak! Aku mohon! Dia terlalu baik untuk disakiti. Aku gak mau dia terpuruk untuk kedua kalinya."

Tangis Alena mulai terdengar, dan semakin lama semakin keras membuat Rafa meringis pedih mengingat apa saja yang telah diperbuatnya.

Rafa menundukkan kepalanya, mulai merenungi segala kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia tahu, ia hanya terbuai oleh perasaan sesaat karena telah dipertemukam dengan cinta pertamanya.

"Rasanya perih Kak, saat orang yang kita percaya malah memanfaatkannya. Hal itu setara dengan pengkhiatan. Aku yang tidak merasakannya secara langsung bisa tau rasa perih itu, apalagi Karen Kak? Di-dia...dia pasti tersakiti." Suara Alena semakin serak akibat tangis yang hingga saat ini masih terjadi, bahkan tangisnya semakin kencang.

Alena menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berusaha meredam tangis yang sayangnya sangat sulit ia hentikan sendiri.

Sedangkan Rafa hanya mematung, tak tau harus berbuat apa. Fakta-fakta yang dibeberkan Alena seakan menghentikan kerja otaknya untuk berbuat apa selanjutnya.

"Dan Kakak tau, siapa pengendara mobil yang berada di depan Alena?"

Rafa diam, rasa takut kembali menjalar dalam tubuhnya. Seperti akan ada bom untuk kedua kalinya yang akan meledak di depannya.

"Dia Karen."

Dan detik itu juga, dunia Rafa runtuh sepenuhnya.

●○○○●

Hayoloooo

200+ vote bisa gak yah?😄

Fany Faradila,
16 Mei 2018

K H I A N A TWhere stories live. Discover now