9. Nyaman

7.4K 488 7
                                    

Karena sebuah rasa berawal dari nyaman, entah berakhir menyenangkan atau justru menyakitkan.

●○○○●

Lorong rumah sakit yang sepi, membuat Kavi bisa bertingkah sesuka hati tanpa harus malu menjadi pusat perhatian orang sekitar.

Kepalanya menunduk, dengan tangan yang terus-terusan menjambak rambutnya sendiri. Rasa frustasi begitu mendominasi pikirannya. Apalagi, saat mendengar fakta yang dipaparkan Rafa.

"Kav, tolong dengar penjelasan kakak sebentar saja."

Kavi menepis tangan Rafa yang berusaha memegang lengannya.

Tangan Rafa terangkat ke atas, tanda ia menyerah akan sikap Kavi. Sebelum berucap, terdengar helaan napas dari mulutnya.

"Maafin kakak yang gak bisa mengontrol perasaan kakak ke Saras," mata Rafa memandang wajah pucat Karen, "kemarin kakak nyatain perasaan ke Saras."

Kavi menggeram marah, "saya sudah peringatkan ke kakak agar jangan terlalu cepat mengungkapkannya. Demi Tuhan! Kak Karen masih trauma untuk memulai sebuah hubungan. "

"Maafin kakak Kav, kakak gak bermak---"

"Keluar!"

"Tap--" Rafa berusaha menjelaskan dan mendekat ke arah Kavi.

"KELUAR!!!" Teriak Kavi.

Tak lama, terdengar decitan pintu yang menandakan jika Rafa telah keluar dari ruangan.

"Brengsek!!!"

Dada Kavi bergerak naik turun, emosinya masih saja belum reda. Ia tahu, perasaan yang dimiliki Rafa adalah hal yang wajar, namun alangkah baiknya jika Rafa bisa mengontrolnya. Paling tidak, hingga Karen bisa menerima kembali untuk menjalin sebuah hubungan.

Mengingat bagaimana sepak terjang Karen untuk bisa bangkit dari keterpurukan sebuah pengkhianatan, dan Kavi tak mau lagi Karen mengalaminya lagi.

Kakinya kembali melangkah menuju ruang rawat sang kakak, dan binar haru langsung merebak di wajah Kavi begitu melihat sang kakak telah sadar.

"Kakak butuh sesuatu?"

"H-ha...us," ucap Karen terbata dengan suara serak.

Dengan cepat, Kavi meraih sebuah botol air mineral. Kemudian, ia memberi sedotan untuk memudahkan Karen minum.

"Masih ada yang sakit?"

Karen menggelengkan kepalanya, kemudian menunjukkan senyumnya.

Sebaliknya, Kavi meringis pilu melihat kakaknya yang masih saja berusaha untuk tersenyum. Kavi tahu, bahwa sebenarnya sang kakak tengah menahan sakit. Tapi, sang kakak denga apik menyembunyikannya.

Pintu kamar terbuka, muncul lah kedua orang tuanya yang datang bersama seorang dokter.

Tanpa basa-basi, Kevita langsung memeluk sang putri begitu erat. Rasanya lega melihat putrinya telah sadar, bebannya terangkat setelah rasa cemas yang mendominasi dirinya. Kemudian, Kevita memundurkan langkahnya untuk memberi ruang sang dokter memeriksa anaknya.

"Kondisinya sudah stabil, dan saya sarankan agar Karen jangan terlalu banyak pikiran. Jangan terlalu memikirkan hal yang berat-berat, biarkan otaknya beristirahat." Ujar sang dokter sambil melepaskan stetoskopnya, "kalau begitu saya permisi dulu."

Sesaat setelah dokter tersebut pergi, Kevita kembali memeluk Karen seakan jika dilepaskan Karen akan menghilang. Tapi memang itu yang dirasakan, ia takut jika Karen akan meninggalkannya. Kevita takut jika Karen takkan pernah kembali.

K H I A N A TWhere stories live. Discover now