Dua sisi 🚻

7.9K 516 23
                                    


Ghayda Ilyas Fattana_

"Lo yakin mo keluar dari penjara suci ini? Lo kan demen banget ada di sini?"

Ilyas mendengus kesal mendengar pertanyaan Parsa. Kawan masa kecilnya dulu yang sampai saat ini masih berkawan akrab dengannya.

"Tiap kali gue ijin mo keluar ke abah, selalu banyak alasan. Kurang cukup umurlah, usia gue udah seperempat abad, Man. Gue juga pengen kali nikmatin suasana luar."

Parsa menepuk pundaknya dengan keras, "Akhirnya, lo tobat juga jadi manusia pesantren, Bro. Gue terharu." Parsa pura-pura mengelap ujung hidungnya pada ujung lengan baju Ilyas.

"Jijik tau nggak!"

Parsa tertawa terbahak-bahak. Ilyas melewatinya dan masuk ke kamarnya segera. Parsa mengikut di belakang.

Ilyas adalah seorang anak kiai dari sebuah pesantren yang tidak begitu besar, namun juga tidak terlalu kecil. Pesantren yang mengajarkan ilmu Al-Qur'an dengan begitu baik. Alumni pesantren tersebut sudah mencetak para hafidz dan hafidzah dengan luar biasa baik. Tak sedikit dari santri alumni pesantren tersebut yang mendapatkan beasiswa prestasi ke luar negeri seperti Mesir, Yaman dan Arab Saudi berdasarkan hafalan dan ilmu Al-Qur'an yang mereka pelajari. Karena itu para orang tua banyak yang tertarik untuk memasukkan anaknya pada Pesantren An-Nadwah, pesantren milik si abah Ilyas.

Parsa sendiri adalah kawan lama Ilyas saat duduk di bnagku sekolah dasar. Ilyas sempat sekolah di luar pesantren. Namun hanya sampai kelas empat. Setelah itu, si abah kembali menyekolahkannya dalam pesantren yang ia miliki. Kebetulan pesantren tersebut memiliki yayasan pendidikan sampai jenjang menengah atas. Sedangkan untuk perguruan tinggi, banyak yang memilih jalur beasiswa. Abah memiliki jaringan pendidikan ke luar negeri sehingga informasi apapun akan mudah ia dapatkan dan itu berguna untuk masa depan para santrinya.

"Abah lo hebat! Tapi lo malah pengen kabur." Parsa masih setia dengan berbagai pertanyaan yang membuat Ilyas makin suntuk mendengarnya.

"Lo mo bantuin gue nggak?"

"Lo mo ngapain sih di dunia luar? Di sini aja lo 'kan udah kek di surga? Hidup lo tentrem, damai."

Ilyas diam sejenak, "Dari dulu gue pengen jadi fotografer, Sa. Gue pengen berkelana ke alam bebas nyari objek yang bagus," ucapnya sembari tersenyum sendiri membayangkan dirinya membidik sasaran di dunia luar sana.

"Kata lo pengen jadi pengusaha?"

"Gue pengen jadi pengusaha dan fotografer!" lantangnya.

"Di sela-sela kesibukan berwirausaha, gue pengen nikmati hidup jadi seorang fotografer."

"Lo aneh aja. Lo 'kan pinter. Itu Qur'an dah lo lalap habis lo hafalin sama artinya juga. Lo tinggal milih buat daftar di perguruan tinggi luar negeri manapun. Hidup lo udah enak, Man. Gak kek gue yang masih luntang lantung nyari kerja. Semua kampus nolak gue karena ijazah gue aja paket C gegara gak lulus-lulus sekolah SMA. Nasib gue gak semulus rel kereta, gak kek idup lo!"

"Itu mah bukan nasib, lo-nya aja yang males buka buku."

"Ucapan lo gak salah sih," tunjuk Parsa ke wajah Ilyas. Keduanya tertawa terbahak-bahak di kamar.

Mereka terdiam sejenak. Ilyas mulai memasukkan beberapa baju ke dalam tas ranselnya.

"Gue heran sama lo, Yas. Lo kan bisa ijin sama ebes lo kalo cuma masalah pengen keluar?"

"Keluar bentar aja pasti gue dihubungin bolak-balik. Mau ijin keluar dari sini aja pake acara interview macem-macem. Mending gue kabur aja, ya gak?"

Sinyal JodohDonde viven las historias. Descúbrelo ahora