Menghilang🌌

4.4K 437 11
                                    


"Abaaaahhhh!"

Para santri bergegas menghampiri ibu nyai yang memekik keras sampai ke pondokan santri. Beberapa santri yang mendengar, langsung memanggil sang kiai. Kiai bergegas mempercepat langkah menuju kamar pribadi anak laki-laki mereka——Ilyas.

Wanita dengan balutan kain panjang iu tertududuk lemas di lantai yang beralaskan karpet lembut. Nampak sang kiai membaca isi selembar kertas ditangannya. Ia hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Nyai, ayo bangun," ujarnya seraya mengangkat tubuh sang istri untuk berdiri. Lalu mendudukkan ibu nyai ke atas tempat tidur Ilyas.

"Anak kita, Bah. Dia pergi." Keluh kesah sang ibu nyai mulai terdengar merintih menahan sakit kehilangan anak yang selama ini ia manja.

"Tenanglah, Dek. Aku akan mencarinya."

Seulas senyum terbit di wajah ibu nyai. Ia mendongakkan wajahnya ke arah sang suami, "Yaudah cepetan, Abah. Siapa tahu anak ganteng itu belum jauh," ucapnya dengan mata berbinar.

Kiai tak menyahut, hanya mengangguk lesu. Harus mencari ke mana dia. Sedangkan ia tahu, kota tempat tinggalnya itu bukan selebar daun kelor. Ia memijat keningnya sedikit frustasi.

Ya Allah, anak ini buat ulah, desahnya dalam hati.

"Nyai tunggu di sini dulu. Aku akan mencarinya." Kiai beranjak dan pergi ke kamarnya meninggalkan sang istri di kamar anaknya yang baru saja hilang. Setelah mengambil dompet, kiai memanggil sopir untuk mengantarkannya mencari si buah hati yang menghilang.

Di dalam mobil,

Sang kiai dan sopir celingukan. Pandangan mereka menyisiri jalanan mencari Ilyas. Beberapa kali sopir turun dan menanyakan langsung pada orang yang lewat atau sekedar duduk santai di pinggir jalan. Mereka semua menggeleng. Kiai berdecak kesal. Bagaimana bila anaknya tetap saja tak ditemukan? Alasan apa yang ia suguhkan pada sang istri yang sudah menangis sesenggukan di kamar Ilyas. Berkali-kali laki-laki bersorban itu memijit pelipisnya.

"Mau cari ke mana lagi anak itu? Kenapa larinya? Cepet banget."

Ponselnya berbunyi,

"Hallo, bagaimana? Sudah ada informasi?"

"Kiai, ada pemuda temen Ilyas yang bantu Gus Ilyas."

"Siapa?"

"Parsa, Kiai."

"Siapa itu?"

"Sahabat Gus Ilyas."

"Cari info juga tentang dia!"

Sambungan ponsel terputus. Sang kiai memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku.

—★—

"Parsa!" Yang dipanggil menoleh.

Keknya gue pernah liat orang pake sorban ini, tapi di mana ya? Parsa bertanya-tanya dalam hati.

Ia mash mengusap dagunya sembari berpikir.

Busyet dah! Dia kan bokapnya si Ilyas? Mampus gue!

Parsa segera tancap gas, namun kali ini raja keberuntungan belum berpihak padanya. Salah satu pesuruh sang kiai sudah lebih dulu menahan pergerakan tangannya.

Parsa dihadapkan langsung ke hadapan abah Ilyas.

"Mana Ilyas, Parsa?"

"A-anu, saya tidak tahu, Pak kiai."

"Jangan bohong! Bukannya dia pergi dari pesantren sama kamu!"

Parsa menelan ludahnya kasar. Kali ini ia bingung harus menjawab apa. Sang kiai yang biasanya terkenal sabar itu melotot di depannya.

"I-Ilyas, kabur, Pak kiai. Katanya dia mau kos saja. Tapi sumpah, demi Allah saya gak tahu kosnya di mana. Saya cuma nganterin sampek jalan besar. Setelah itu, Ilyas menghilang. Saya tidak tahu kabarnya."

"Parsaaa! Ini semua gara-gara kamu! Sekarang cari anakku sampek dapat, kalo nggak, siap-siap kamu masuk ke sel tahanan penjara atas tuduhan penculikan anak!"

Parsa semakin pucat pasi. "Penculikan anak?"

"Iya! Iya anakku!"

"Tapi kan Ilyas sudah ...." Belum selesai bicara, Parsa kembali menutup mulut karena sang kiai memerintahkan para pesuruhnya memegang lengan Parsa. Abah Ilyas itu mendekati wajah Parsa.

"Pokoknya tidak ada kata tapi. Kamu yang paling bertanggungjawab atas hilangnya penerus pesantrenku, Parsa. Temukan Ilyas atau kamu dikurung!" ancam sang kiai.

Parsa hanya menatap pilu kepergian abah sahabatnya itu bersama para pesuruhnya. Ia segera menghubungi Ilyas. Setelah mencoba berkali-kali, nomor Ilyas tak dapat dihubungi.

"Lo yang minta bantuan, gue yang kena hukuman. Dasar Ilyas!" gerutunya sepanjang jalan.

—★—

"Apa lo liat-liat? Suka ma gue?"

Acilia dengan entengnya kembali menyedot jus apelnya seraya mengibas-ngibaskan tangan ke wajah.

"Panas banget sih, dasar udara kampung!" omelnya tak henti.

Siang itu, Aci memilih makan bakso di warung depan gang kosnya. Sebenarnya dalam hati ia agak risih karena belum terbiasa makan di tempat seperti itu. Tapi demi memenuhi panggilan cacing di perut, ia rela memasrahkan diri makan di tempat 'tak terjamah' menurutnya dulu.

"Mbak, kalo mau adem, noh tinggal di rumah mewah, pake AC. Kalo mau, gue anterin deh ke rumah om-om girang," ucapnya sembari tertawa terbahak-bahak.

"Jaga mulut lo ya! Gue cekokin sambel, ngiler lo!"

Wajah Acilia merah padam karena marah seraya memukul sendok sambel dengan mencebik. Satu cipratan sambal masuk ke sebelah lubang hidungnya. Seketika itu juga Acilia bersin dengan keras sampai cipratannya menyentuh kulit anak kecil penikmat bakso di depannya.

"Mama!" Anak kecil itu menjerit histeris. Acilia membuka mulut lebar dengan mengerjapkan mata karena ikut terkejut.

"Ma-maaf, Dek." Aci menoleh kanan dan kiri mencari tisu di meja, "Mana yang jualan pelit ngasi tisu lagi," cebiknya kesal.

Acilia merogoh tas kecilnya mencari tisu. "Gue bawa gak ya?" gumamnya kebingungan. Satu bungkus tisu kecil ia temukan dalam tas, "Syukuuur, ketemu." Aci menghela nafas lega.

Acilia mengelap lengan anak kecil itu dengan gelagapan. "Tante minta maaf ya, Dek."

Untunglah anak kecil tadi punya sifat pemaaf dan murah senyum. Satu lagi, Acilia si gadis menyebalkan juga punya wajah manis. Anak kecil itu seolah gemas melihat wajah childish Aci. Apalagi saat Aci tersenyum, bahkan semut di dinding pun ingin menempelinya. Saking manisnya~

"Tante siapa namanya?" tanya anak berumur sekitar 11 tahun itu.

"Sebut aja Aci, Adek siapa namanya?" Aci tanya balik sambil mencabut beberapa tisu untuk memastikan bahwa kulit tangan anak itu sudah benar-benar bersih.

"Namaku David. Senang bertemu tante, Tante Aci cantik." Aci terbelalak dan membuka mulut. Tapi kemudian ia tertawa kecil karena gemas pada David sembari mencubit pipi bocah kecil itu.

Seseorang dari kejauhan nampak sedang memperhatikan mereka dengan senyum yang tak bisa diartikan. Setelahnya, Ia melangkah berlalu dengan bersenandung santai menjejaki tepian jalan.

===::::::====:==:
Bersambung.

Dikit dulu yapp, ane kezel.
Moga sukaaa😘🐍

Sinyal JodohWhere stories live. Discover now