Orang aneh😆

3.4K 382 2
                                    

Acilia duduk memangku dagu dengan kedua tangannya. Ia merasa kesepian. Membayangkan kedua orang tuanya saja ia merasakan kerinduan yang amat sangat. Perlahan ia mulai menyadari kesalahannya. Namun yang ia sesali adalah mereka yang kurang memperhatikan kasih sayangnya sewaktu kecil.

Ilyas memperhatikan mimik wajah Aci yang nampak lesu. Biasanya gadis itu selalu terlihat cerah dan bersemangat. Walaupun di sela semangatnya kelebihan bicara selalu saja membuat Ilyas kadang jengah. Hari itu resto miliknya agak sepi pengunjung. Ia membawa es buah kesukaan Aci dan menyodorkan di depan gadis itu.

"Nih, minum," ucapnya kemudian.

Aci memiringkan wajahnya sejenak dan memperhatikan wajah Ilyas.

"Tumben lo perhatian. Biasanya juga pelit," cibirnya.

Ilyas mengangkat bahu, "Lagi dateng setan putih aja."

Aci mengaduk es berisi buah-buahan yang dipotong kecil itu dan menyeruputnya segera. Kerongkongannya yang kering mulai basah dan segar.

"Lo tinggal di sini sama siapa?" tanya Aci mencoba mengakrabi pemuda di sampingnya.

"Gue sendirian, sama Bos Parsa."

Aci yang masih menganggap Parsa sebagai pemilik warung itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oo gitu. Bos Parsa baik ya?"

Ilyas mengangguk segera. Ia merasa suasana masih terasa kaku. Namun sebisa mungkin ia bersikap santai menghadapi gadis cuek itu.

"Gue juga tinggal sendirian. Papi sama mami udah gak peduli sama gue lagi. Padahal gue kangen sama mereka."

Entah angin apa yang membuatnya bercerita pada orang yang baru ia kenal. Mungkin karena ia merasa butuh teman sekarang di saat merasa sendiri.

"Kenapa gak pulang?"

Aci menoleh dan menggeleng pelan. Untuk cerita dia diusir dari rumah, ia merasa enggan. Bercerita soal itu sama saja membuka keburukannya sendiri.

"Mereka gak sayang sama gue."

Ilyas terkekeh pelan, "Mana ada orang tua gak sayang anak, Ci."

"Buktinya di berita, ada ibu yang bunuh anak."

"Udaah gak usah bahas itu. Orang tua yang bunuh anaknya mungkin karena sedang khilaf."

Acilia yang sedari tadi merenung sambil sibuk mengaduk kuah es buahnya hanya bisa mendesah pelan.

"Kalo gue boleh milih, gue mending punya orang tua sederhana. Yang penting mereka sayang sama gue. Gak nelantarin gue kek gini."

Ilyas terkekeh pelan. "Semua orang tua itu sayang sama anak, Ci. Cuma kek yang aku bilang tadi, mereka mungkin aja lagi khilaf."

"Khilaf mulu yang disalahin," gerutu Acilia.

"Iyalah, karena iman sesorang itu bagai ombak di samudera. Kadang pasang kadang surut. Kata pujangga sih gitu. Makanya sebisa mungkin kita harus jaga iman sama Allah. Kalo gak bisa jaga, ya kita minta dijagakan iman kita."

Aci menoleh pada Ilyas dan tertawa pelan, "Gue ngerasa duduk deket kiai yang lagi ngasi ceramah." Gadis itu malah terbahak-bahak.

Ilyas menghela napas, "Terserah lo deh."

"Jangan bahas inan deh sama gue, mana gue ngerti. Yang gue ngerti itu cuma duit sama nikmatin hidup. Udah. Lagian si iman bisa ngenyangin perut gue? Kagak! Yang bisa tu duit. Fulus!" Ucapan Aci masih disertai tawa bahaknya.

"Trus kalo lo gak tahu soal iman, gimana hidup lo?"

Acilia merentangkan kedua tangannya, "Lo liat gue sekarang. Gue yang ngerti iman masih sehat kan? Hidup kan? Udah deh gak usah bahas gituan. Bulsyit banget! Jaman now masalah gituan udah gak penting!"

"Kalo lo punya masalah larinya ke siapa?"

"Ya bawa have fun aja. Hang out, shopping sama temen-temen gue. Dan setelahnya semua masalah itu cuma kek angin, wuss, ilang. Hidup gue simpel. Gak ribet kek doktrin-doktrin yang lo sampein itu."

"Hidup gue emang gak simpel. Karena hidup aja gak sesederhana kek dalam bayangan lo. Saat manusia masih bisa survive dengan masalah hidupnya, dia akan nganggep, dia udah kuat. Tapi saat masalah yang lebih besar datang. Aku gak yakin kita bakal sekuat itu. Lo bisa aja kan minum racun ato lompat bunuh diri. Allahu a'lam. Kalo lo masih percaya ada Yang Maha Kuat, suatu hari nanti kalo lo udah gak kuat sama hidup ini, kembali aja sama Dia. Dzat Yang Maha Kuat."

"Orang yang mikir bunuh diri itu cuma otaknya aja yang sempit, Yas. Gue gak secemen itu."

Ilyas hanya mengedikkan bahu tak peduli setelahnya. Ia melihat beberapa pembeli masuk ke warung makannya.

"Gue masak dulu. Lo tolong layani mereka dengan baik," tunjuk Ilyas pada calon pembeli yang sudah duduk menunggu pelayan datang.

Acilia memutar bola matanya malas. Kerjaan lagi, kerjaan lagi, keluhnya.

-★--

Parsa berlari mendekati Ilyas yang tengah sibuk menyiapkan hidangan untuk pembeli. Ia memukul pundak Ilyas.

"Gue ada berita bagus," ucapnya bersemangat.

"Apaan?"

"Besok ada acara bazar gitu di lapangan depan lippo. Lo bisa ikutan, sekalian buat promoin warung makan masakan lo ini, gimana?"

Ilyas menghentikan aktifitasnya sejenak. "Bisa juga. Trus besok berarti warung tutup?"

"Iyalah, Yas. Emang lo diparo dua?"

"Oke. Nanti pas mo pulang kerja para pegawai, gue umumin. Eh tapi gue belum daftar, gimana?"

"Udah gue daftarin, kebetulan salah satu panitianya itu tenen gue. Jadi gampil gak pake ribet."

"Bukan ide buruk sih."

Ilyas kembali melanjutkan kerjaannya yang sempat tertunda. Acilia datang membawa nampan hendak mengambil makanan pesanan pembeli.

"Aci!" Acilia menoleh dan mendapati Parsa tengah tertawa padanya.

"Ada apa, Bos?"

"Kita besok ke acara bazar di pusat kota. Lo bantuin gue aja buat narik pelanggan. Pengunjung bazar. Kebetulan wajah lo lumayan. Jadi lo mampang di depan aja, lo mau kan?"

"Bazar?? Jadi gue kebagian jadi promotion girl gitu?"

"Iya. Lo mau kan?"

"Oke, gue setuju asal ada budget tambahan entar buat gue kalo pas rame."

"Sepakat!" Parsa menjabat tangan Aci.

Ilyas yang mendengar percakapan keduanya hanya menggeleng pelan. Aci segera mengambil pesanan dan segera menghidangkannya pada pembeli. Sementara Parsa hanya cengengesan saat Ilyas menatapnya dengan nada peringatan.

"Itung-itung warung makan lo bisa manfaatin cewek cakep buat jadi salesnya, Yas. Dalam ilmu ekonomi bisnis itu, kita gak cuma jual produk alias rasa masakan lo, tapi juga kudu ada promosi, memperkenalkan produk ke calon pelanggan, ya kagak?" ujar Parsa sambil menaikturunkan alisnya pada Ilyas. Ilyas hanya bisa pasrah.

"Serah lo deh."

Gue baru sadar, hidup di dunia luar yang dihadapi bukan cuma tantangan, tapi juga harus terima dikelilingi sama orang-orang aneh.

Sinyal JodohWhere stories live. Discover now