Izin Batal Pertunangan.

487 74 16
                                    


Rahayu melirik sekitar pesantren Abah. Rahagi membuang keringat di keningnya dengan tangannya yang ia hempaskan begitu saja ke tanah. Sebagian percikannya terlempar ke ujung hidung Maman, sang sopir.

"Aci, anak papi sayang, kamu yakin mau nikah sama anak pemilik pesantren ini?" tanya Rahagi.

Si anak gadis memantukkan kepala mantap, "Iya, Bah, eh, Pi." Acilia mulai ragu sejenak saat bergilirian melihat ekspresi papi maminya. "Kenapa, Pi, Mi? Ada masalah?"

Kipas kain ukiran jati kuno di tangan Rahayu terbuka seketika dan terkibas ke wajahnya, "Mana becek, mana bebek, gak ada ojek. Duhh muka mami jadi kayak cowek."

Acilia tergugu. Ia menatap langit. Perasaan gak ada hujan? Mana becek? "Mana becek, Mamii?"

"Liat bawahmu, Anak mami sayang," gregetan Rahayu sembari menunjuk tanah yang sempat ia injak. Membentuk bawah sepatu yang hampir terpeleset.

Aliran air seperti selokan kecil, tapi bukan selokan. Anak santri yang habis mencuci memang sengaja membuang air cuciannya ke jalan sekitaran pesantren dengan maksud mengurangi penguapan karena panas menyengat. Sayangnya volume air terlalu banyak dari para santri dan penyerapan tanah jadi lambat.

"Mami, itu pasti dari anak santri yang habis nyuci."

"Ya gak dibuang di jalan juga. Kesel mami liatnya. Apalagi baunya." Rahayu cemberut dengan tetap mengibas kipas ke wajah.

Acilia melirik sang papi. Sapu tangan di tangannya sudah mulai basah. Mungkin kain kecil itu sudah siap diperas. Dan itu adalah sapu tangan bersih yang diberikan si Maman karena si Maman sudah tak kuasa menjadi korban cipratan keringat lelah kepanasan sang manjikan yang selalu hinggap di ujung hidungnya.

"Masih bersih dan harum, Pak. Masih baru beli, beli baru," ungkap lengkap Maman saat memberikan sapu tangannya pada Rahagi.

Langkah mereka menuju kediaman sang kiai yang sudah dekat. Benar saja mereka disambut ramah oleh beberapa pemuda yang memakai baju koko warna terang dan peci hitam. Nampak sopan dengan menunjukkan keberadaan sang calon mertua Acilia.

Sampai di dalam rumah besar itu, Acilia dan keluarganya dibuat terperanjat dengan hadirnya banyak kerabat dari sang calon besan.

Tak lupa  dibawa serta yang sebelumnya menjadi penengah antara kedua keluarga itu. Siapa lagi yang disodorkan pertama dari pihak Ilyas jika bukan sahabat karibnya sendiri, Parsa. Parsa sengaja diutus oleh abah sebagai delegasi penengah karena ia pandai bersilat lidah. Apalagi orangtua Ilyas yang notabenenya adalah priyayi dan akan melamar gadis metropolitan yang abu-abu soal agama.

"Abah, ini yang namanya Acilia." Parsa menunjuk Acilia dengan ujung ibu jari alias jempol dengan gaya baru sopannya memperkenalkan gadis berhijab yang hanya ditenggerkan layaknya selendang di kepalanya itu. "Dan ini mama Aci, namanya Ibu Rahayu. Ini papanya, Bapak Rahagi," lanjutnya.

Setelah mempersilakan duduk, mereka menghidangkan jamuan makan dari olahan yang kebanyakan kambing. Rahagi menelan ludah. Rahayu menyenggol perut besar sang suami seraya berbisik, "Ingat kolesterol, Papi."

Sang kiai yang sempat mendengar kasak-kusuk itu tertawa lebar.

"Kami terbiasa menghidangkan menu dari daging kambing untuk tamu spesial, Pak Rahagi, Bu Rahayu. Makanlah, bukankah ini makanan favorit Nabi?"

"Saya percaya bapak kiai itu benar," semangat Rahagi.

Pandangannya menyapu ke seluruh hidangan. Benar dia orang kaya yang tak kekurangan nilai gizi, tapi menu makanan tradisional timur tengah di depannya itu jarang-jarang ia rasakan karena kesibukan menyita waktu untuk memesannya. Indera pengecapnya bereaksi aktif cepat dan tanggap.

Sinyal JodohWhere stories live. Discover now