Sendiri💔

3K 366 16
                                    


Acilia menghentikan langkahnya seketika saat rumah makan terlihat seperti suasana pemakaman. Acara tangis menangis dan pelukan yang hangat. Gadis itu menggeser badan ke bagian dapur dan menyenggol lengan Koko. Ia mengangkat dagu seolah sedang bertanya ada apa. Koko menjawabnya dengan mengangkat bahu. Sepertinya ia juga tak tahu menahu.

"Mi, nanti Ilyas pasti pulang Insya Allah," seru Ilyas. Kepalanya menatap sekeliling. "Kita cari tempat lain aja, yuk! Kasihan pengunjung jadi gak tenang," lanjutnya dengan nada memohon.

"Kamu lebih kasihan sama pengunjung rumah makanmu daripada umi, Ilyas! Umi sampek nangis-nangis nyariin kamu! Umi bingung! Jangan siksa umi, Nak. Kamu itu anak satu-satunya umi!" jerit Umi Ilmi, ibunda Ilyas.

"Umi, kan ada adik-adik?"

"Mereka anak perempuan, Yas!"

"Kan tetep anak Abah sama Umi?"

Umi Ilmi meraih tisu yang disediakan seorang santriwati. Hidung sang umi memerah dengan mata membengkak. Berdiri di sampingnya Parsa, menatap Ilyas dengan tatapan bersalah. Ilyas menatap tajam Parsa dengan kening berkerut. Parsa yang berada di belakang umi menangkupkan kedua tangannya seperti meminta maaf. Ilyas nampak bersungut.

Acilia melihat itu semua dengan tatapan melongo. Setelahnya ia tersenyum miring. Sepertinya dia memiliki ide konyol lagi.

Berbeda dengan Aci, berbeda pula dengan Ilyas yang beberapa kali mengusap keringat di keningnya. Ia melihat sang ibunda tengah meratap dan di sekelilingnya, pengunjung tengah memperhatikan mereka.

"Pliz, Mi. Ayo kita bicara di luar. Kita jadi tontonan sekarang," pinta Ilyas.

Sang abah menelan saliva menyadari pengunjung sekeliling tengah memperhatikan mereka. Ia seorang kiai yang cukup mahsyur. Siapa tahu ada yang kenal dengan dirinya, bisa remuk redam harga diri sang kiai.

"Ayo, Mi," pinta juga sang kiai.

Umi Ilmi akhirnya mengalah dan menuruti keinginan suami dan anak kesayangannya itu. Para karyawan bisa bernapas lega karena rombongan sang kiai dan keluarganya berjalan keluar dari rumah makan.

"Ayo pulang!"

Sayup suara sang umi masih terdengar nyaring di telinga para penghuni rumah makan. Namun sepertinya Ilyas tengah memberi perhatian dan pengertian pada sang umi. Lihatnya ibunda Ilyas itu nampak tenang dan mengangguk pelan. Sang kiai pun mendekapnya masuk ke dalam mobil. Sebelum abah Ilyas itu juga ikut masuk ke dalam mobil, ia mengacungkan telunjuk pada Ilyas. Sepertinya Ilyas diberi peringatan oleh sang abah.

Setelah semua normal dan kembali hening, Ilyas melangkah masuk ke dalam rumah makan.

Acilia tertawa terbahak-bahak saat Ilyas melewatinya. Saat memasuki dapur, Acilia memegang pundak Ilyas.

"Nasib kita gak jauh beda ya? Kirain situ gak punya orang tua," ejek Acilia.

Ilyas menarik napas panjang. PR buat pemuda itu untuk menjelaskan pada gadis di depannya. Apa pentingnya? Tentu. Sebelum si gadis menginterogasinya lebih lanjut.

Parsa tadi diseret ikut serta oleh sang kiai ke dalam mobilnya.

—★—

"Gue cuma pengen cari pengalaman. Gak cuma di pesantren mulu."

Ilyas mencabuti rumput di depannya. Ia sengaja mengajak Aci duduk di bawah pohon yang tidak jauh dari rumah makannya berada.

"Nasib kita sama, tapi berbeda. Gue diusir, sementara lo malah kabur. Lagian ngapain sih pake acara kabur? Bukannya enak tinggal sama bokap nyokap, lo minta apa tinggal dikasi. Gak kek gue malah diusir. Kejem tau gak bokap gue."

Sinyal JodohHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin