Romansa Sore Hari

57 5 0
                                    

Selangkah saja kaki ini berjalan maju, ketika mundur keadaaan tak pernah sama lagi. Keputusan-keputusan bergerak riak di belukar pikir. Seakan berjarak dengan kopi, perbincangan orang-orang dan isu-isu paling kini.

Dari balik jendela benak, semua tampak seakan-akan melaju dengan cepat. Sementara aku, diam dan membayang-bayangkan masa lalu. Sholawat-sholawat berdendangan dengan cantik di telingaku. Kulihat bidadari berkisah tentang cerita-cerita suci. Batinku yang dingin teduh dan hangat oleh merdunya nyanyi-nyanyi.

Sebagian orang memuja kehampaan yang seakan-akan isi. Menangkapnya, bertemu kehampaan dan berulang-ulang dalam pola yang sama. Sementara yang lain memaksimalkan pikir untuk bergerak maju, mencoba membuat perubahan. Di sudut lain, ada yang mempertahankan nilai-nilai lama. Memelukinya dengan jiwa konservatif. Aku, tenggelam dalam aliran-aliran pikir yang serba sulit dan tak memilih.

Oh ya, "ayo maju!" sebuah artikel yang kubaca sembari ngeteh tadi pagi berbisik selintas di nurani. Kudengar tangis-tangis di akun-akun sosial, kulihat semangat-semangat perubahan di televisi. Aku mandeg, macet oleh sikap malasku.

Aku berpikir untuk membela, tapi membela siapa? Aku berpikir untuk berkorban, demi harkat dan martabat keluarga. Tapi alih-alih maju, aku justru bersembunyi dalam liris sore ini. Tenggelam dalam gelombang lamun yang demikian hebat. Mencengkeram tengkukku dengan segelas kopi dan sebatang kretek.

Oh ya, aku anak petani. Maka kubawa oleh-oleh dari rantau pendidikan, sepercik pengetahuan tentang tetumbuhan. Tapi lagi-lagi macet. Aku seakan bersenda gurau dengan kenyataan. Gerimis di seberang jendela seperti menuding, "Apa yang akan kau perbuat?"

Aku bersimpuh dalam tumpahan tangis para pendidik. Mataku basah, batinku banjir, akalku terpelintir; aku basah sebasah-basahnya. "Jangan kembali kesini," salah satunya berkata. Aku tak menangkap nada mengusir, hanya sentuhan kasih yang kurasa. Tapi aku terlanjur mencandu kopi-kopi hangat sore ini. Melamurkan mataku dengan kabut-kabut putus asa.

Syair lagu Maher Zain-sepanjang hidup, terasa berdenyut di kalbu. Isinya yang padat dan mengena menemani lamunan. Mengisi benak dengan inspirasi, bahwa hidup tak lepas dari cinta. Cinta yang jasmani dan rohani. Bahwa cinta berarti: setia. Maka kalbu tak akan sempit, hampa dan kosong.

Lagunya yang mendayu seakan seperti pelita. Menerangi dengan nilai-nilai yang hangat dan memancar. Sepanjang hidup adalah syukur yang panjang. Pada baris ini batinku terasa terhanyut. Sejenak lupa kepada kopi dan rokok yang mengepul di depanku.

Hidup adalah keberanian dan ketenteraman karena mengetahui bahwa Allah selalu menyertai. Cinta adalah janji untuk tulus menuju kebaikan. Aku tentu saja terhenyak, tercekat oleh pikir bahwa selama ini perjalanan tak disertai kepasrahan. Sehingga, justru berhenti karena ragu-ragu. "BersamaMu, kusadari inilah cinta," ujar Maher Zain.

Pada lagu-lagunya yang lainpun, Maher Zain cukup konsisten untuk membubuhi resep yang enak dan renyah dengan nilai-nilai kehidupan yang padat. Terasa sekali guna dan manfaatnya dalam berkarya. Ia memilih untuk maju dan berbuat, dengan turut disertai manfaat. Kedua kalinya sore ini degub jantung berdetak oleh inspirasi. Tak berlebihan menurutku, untuk merasa gembira menemukan hal kecil ini. Yah, maju berbuat bermanfaat disertai cinta.

Rasanya lagu ini adalah pencerahan. Nilai-nilai pada syairnya cukup mahal dan membutuhkan perenungan yang dalam untuk dicari sendiri. Yah, dengan ini romansa sore hariku tak sia-sia.


Yogyakarta, 25/ 01/ "18

Ombak KalbuWhere stories live. Discover now