#55

77.5K 5.7K 361
                                    

Dara membolak-balikkan badannya karena matanya tak mau terpejam sama sekali. Entah mengapa penyakit insomnianya datang disaat yang tidak tepat.

Sebuah ketukan membuat Dara terlonjak kaget. "Kaget gue bang!" pekik Dara selanjutnya.

Riyan duduk di tepi kasur Dara. Menatap adiknya tersebut yang seperti merasa gelisah. "Kok belum tidur? Kenapa?"

"Nggak papa, bang."

"Inget, Ra. Lo nggak bisa bohongin gue." kata Riyan yang sudah hafal sekali dengan mimik wajah Dara ketika ia sedang berbohong.

Dara menghela nafasnya kasar. Lalu ia mengambil sebuah benda yang ada di bawah bantalnya. Sebuah buku hitam milik Keylan. "Gue pengen baca, bang. Tapi gue nggak bisa."

"Kenapa? Takut?"

Dara mengangguk lemah. "Gue takut usaha gue selama ini bakal hancur, bang. Lo tau kan selama enam bulan ini gue berjuang mati-matian buat bangkit lagi, buat bisa senyum lagi, buat bisa hidup normal lagi. Gue nggak mau bang semua hal itu sia-sia. Gue juga nggak mau ngecewain orang-orang yang udah dukung gue selama ini."

Riyan mengusap pipi adik semata wayangnya dengan lembut karena bulir-bulir air mata itu menetes deras. Tak lupa ia juga menggenggam tangan adiknya dengan kuat. Hati Riyan teriris lagi. Melihat Dara menangis membuat hatinya perih, ia seolah menanggung beban yang sama bahkan lebih berat karena tak dapat membahagiakan adiknya itu.

Memang, enam bulan bukanlah waktu yang singkat bagi Dara untuk hidup normal kembali. Hidup tanpa Keylan di sisinya. Hidup dengan keluarga baru yang tentu saja memerlukan adaptasi yang baru juga. Selama enam bulan itu, Dara merasakan pilu yang luar biasa. Ditengah harus terapi menyembuhkan kakinya yang lumpuh sementara, Dara juga harus membangun benteng batin yang kuat. Bahkan, ia sempat dibawa ke salah satu psikolog karena mengalami depresi. Pikiran Dara, batin Dara, dan juga raga Dara terguncang hebat. Namun, dengan adanya keluarga barunya Dara mendapat secercah cahaya baru. Dengan adanya dukungan dari orang-orang di sekitarnya, Dara mampu bangkit lagi. Membuat lembaran baru, walaupun lembaran lama masih menghantui hidupnya.

"Lo mau baca?" tanya Riyan akhirnya.

Dara diam sebentar, berpikir. "Logika gue bilang jangan, tapi hati gue bilang gue harus baca, bang. Gue bingung."

"Ikuti kata hati lo, Ra. Tapi lo harus janji sama gue. Buku ini hanya sekedar penjelasan yang nggak pernah Keylan jelasin. Jadi lo nggak boleh larut dalam kesedihan lagi. Okay?"

Dara mengusap bekas sisa air matanya lalu tersenyum memeluk Riyan. "Abang emang tau apa yang gue mau. Makasih ya bang! Lo terbaik sejagad raya!"

Riyan tersenyum. Membalas pelukan Dara erat. Hatinya lega melihat Dara tersenyum senang. Setidaknya itu yang bisa Riyan lakukan.

🍂🍂🍂

Hari Minggu. Hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Dara. Setelah bangun dan sholat shubuh, ia kembali ke kasurnya, menggeliat seperti anak kecil lalu tersenyum bak orang gila.

Dara memandang buku hitam milik Keylan dengan antusias. Lalu dipeluknya buku itu dengan perasaan rindu yang mendalam, membayangkan yang dipeluknya adalah Keylan.

Dara menghirup udara dalam-dalam. Lalu ia membuka buku itu dengan perasaan yang tak karuan. Antara penasaran, deg-degan, senang, rindu, bercampur menjadi satu.

Dengan hati-hati, Dara mengusap sampul berwarna hitam itu, lalu membukanya perlahan.

Selamat pagi, Dara! Kenalin, nama gue Keylan kalo lo belum tau hehe.

KeylanDara [SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz