Part 16

16.8K 2.6K 481
                                    

I'm way too good at goodbyes
No way that you'll see me cry
(Too Good at Goodbyes, Sam Smith)

Yudhistira membuka mata dan mendapati dirinya menatap langit-langit kamarnya. Perlahan dalam masih keadaan mengantuk, ia kembali mengingat apa yang terjadi semalam.

Mengapa aku sudah tidur dalam posisi terbaring di atas ranjang? Dita ke mana? Bukankah kemarin aku tidur dalam posisi duduk dan Dita bersandar di punggungku?

Lalu ia menyapukan matanya ke sekeliling, sedikit heran melihat bantal, termasuk bantal sofa, berserakan di sekeliling tempat tidur. Yudhistira menghempaskan dirinya kembali dan memejamkan mata, berdoa semoga malam tadi ia tidak melakukan hal-hal di luar batas kewajaran, begitu juga Dita.

Dan astaga, mengapa ranjangnya masih menguarkan rasa hangat gadis itu?

Dengan ngeri Yudhistira terpaksa mengakui kalau ia menyukai sensasi jejak Dita masih ia rasakan begitu dekat dengannya. Yudhistira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan dengan berat. Ia mencoba berpikir bahwa yang terjadi malam tadi hanyalah sekedar rasa kasih sayangnya pada Dita dan wujud perhatiannya sebagai kakak yang baik pada gadis itu.

Jam weker digital yang terletak di nakas berbunyi, membuat Yudhistira tersadar ia terlambat bangun karena angka menunjukkan pukul delapan pagi. Dan artinya, ia melewatkan sholat subuhnya untuk pertama kali setelah sekian lama, mungkin bertahun-tahun setelah ia memutuskan untuk menjadi anak baik semenjak ia menyadari bahwa tanggung jawab keluarga telah diamanatkan ke pundaknya ketika ia selesai mengazankan jenazah Papa sebelum dikebumikan.

Hal itu juga berarti ia terlambat ke kantor, tapi Yudhistira memutuskan untuk tidak pergi bekerja hari ini. Ia butuh beristirahat dan juga berpikir ulang tentang semua yang terjadi dengan dirinya saat ini

***

"Tumben lu nggak kerja, Dit?" tanya Nakula pagi itu, merasa heran melihat kehadiran Dita yang sedang memasak di dapur pada hari kerja jam delapan pagi.

"Capek, La. Sekali-sekali istirahat boleh kan?" jawab Dita. Ia menyiapkan sarapan berupa waffle dengan saus coklat hangat dan segelas the mint hangat untuk meredakan pusing karena hang-over tadi malam.

"Capek? Emangnya kamu ngapain aja tadi malam?" Sadewa yang baru datang langsung menyambar ucapan Dita tanpa basa-basi.

"Malam tadi aku mainnya sampe jam 12," jawab Dita sekenanya, ia merasa wajahnya mulai memanas karena berbohong.

"Oh. Mas Dhisti nggak marah kamu melanggar peraturan?" Sadewa bertanya tanpa ampun, tapi ia melakukannya dengan gaya yang santai, padahal ia sengaja menyudutkan Dita.

Dita hanya diam, menundukkan wajahnya yang mulai memerah. Tidak menjawab pertanyaan Sadewa sama sekali, ia mengatur peralatan makan untuk sarapan mereka berempat.

Nakula yang memperhatikan dialog antara Sadewa dan Dita mengerutkan keningnya, mengapa adik kembarnya dan adik sepupunya membicarakan sesuatu yang tidak ia mengerti. Dan jujur saja, Nakula ingin tahu apa masalah di antara mereka.

"Nakula, tolong panggil Mas Dhisti buat sarapan." Pinta Dita, ia tidak mau berbicara dengan Sadewa sementara ini, karena merasa laki-laki itu mengetahui sesuatu.

"Eh, Mas Dhisti juga nggak ngantor hari ini?" Nakula bertambah heran dan Sadewa menahan senyumnya mendengar pertanyaan saudara kembarnya.

"Tumben juga, ya... Mas Dhisti yang nggak pernah bolos kok tetiba bolos." Sadewa menyambung pertanyaan Nakula kembali, tersenyum simpul sambil memperhatikan Dita lekat-lekat.

"Kayaknya janjian sama Dita, barengan bolosnya sih." Nakula makin nyinyir, walau ia tidak mengerti apa sebenarnya tujuan pembicaraan ini, menyindir atau hanya sekedar bercanda.

My Perfect Polar BearWhere stories live. Discover now