Part 19

14.2K 2.5K 464
                                    

And I could live, I could die
Hanging on the words you say
(Dive, Ed Sheeran)

"Mas Dhisti, tunggu. Ini bekalmu hampir ketinggalan," Dita mengetuk kaca jendela mobil Yudhistira, membuat laki-laki itu sedikit terkejut karena ia mengira Dita sudah pergi duluan dari tadi.

"Oh, iya. Hampir kelupaan. Rugi banget aku kalo sampe nggak makan masakan buatanmu." Yudhistira menurunkan kaca, lalu mengambil tempat makan yang dibungkus kain cantik berwarna biru dongker yang dipegang Dita di depan wajahnya.

"Terima kasih, Chloe. Omong-omong, kamu masak apa?" tanya Yudhistira, ia sudah membayangkan kelezatan masakan rumahan ala Dita.

Brengkes tempoyak gabus? Pindang udang? Atau daging malbi?

"Ada deh, Mas.." Dita tertawa lalu ia membuka mulutnya seperti ingin membicarakan sesuatu tetapi dengan wajah ragu ia menutup mulutnya kembali.

"Kenapa Chloe?"

Dita nyengir, sejenak terdiam tetapi Yudhistira meyakinkan gadis itu untuk bicara. Dita menggigit bibirnya dan bicara pelan, "Aku boleh numpang di mobilmu, Mas? Kayaknya aku ngantuk banget, maklum belum biasa bangun jam tiga subuh."

"Ya ampun, Cuma mau ngomong gitu aja kayak mau minta apa aja. Dengan senang hati, Chloe... kamu numpang seterusnya juga nggak apa-apa, Asal kamu masak terus untukku." Yudhistira membuka kunci pintu mobil otomatis dan mengedikkan dagunya pada Dita agar segera naik ke dalam mobil.

Setelah memasang seatbelt, Dita meminta sesuatu kembali yang sedikit membuat Yudhistira heran karena gadis itu bukan tipe perempuan yang suka meminta diantar jemput bagai nyonya besar.

"Omong-omong, pulang juga aku minta barengan kalo kamu nggak lembur."

"Eh, tumben?" Yudhistira memasang seatbelt, di wajahnya terpasang senyum yang sangat lebar. Laki-laki itu dari dulu memang ingin mengantar-jemput Dita, hal itu sudah menjadi obsesinya hingga ia pernah merusak mobil Dita demi gadis itu tidak menumpang pada mobil Haikal, mantan pacar Dita.

"Nggak kenapa-kenapa, sih. Aku kepingin pulang bareng kamu, Mas. Plus selain bisa tidur di mobil, aku sekalian mau menghemat biar bisa ngirim uang lebih banyak buat Ibu." Dita nyengir dan menyandarkan kepalanya pada jendela, ia bersiap untuk tidur.

Senyum lembut mengembang di wajah Yudhistira. Sehedonis bagaimanapun Dita, ia selalu menyisihkan uang untuk ibunya di Palembang. Yudhistira juga pernah mendengar cerita langsung dari para OB ketika ia bertugas mengaudit di kantor Dita, kalau gadis itu lebih sering makan oatmeal daripada membeli makanan di luar. Yudhistira tahu, uang yang disimpan Dita hanyalah untuk keperluan ibunya selain cicilan mobilnya yang memang separuh dari gaji gadis itu.

Ketika Dita benar-benar terlelap dan keadaan jalan sedang macet, hingga mobil yang ia kendarai berhenti beberapa menit, Yudhistira mengusap pelan pipi Dita. Wajah gadis itu terlihat lelah, tetapi Yudhistira tidak akan melarang kemauan Dita yang ingin bangun pagi karena ia melihat gadis itu sholat tahajud sebelum memasak. Seingatnya, Dita jarang sekali melakukan sholat malam.

Tetapi Yudhistira sama sekali tidak tahu dan tidak menyadari bahwa alasan Dita untuk membuat sarapan dan bekal makan siang hanya untuk mengambil hati laki-laki itu. Alasannya menumpang walau memang benar ia ingin berhemat dan juga capai, lebih tepatnya Dita ingin selalu bersama dengan Yudhistira. Dita benar-benar bertaruh dengan apa yang ia lakukan sekarang, karena bisa jadi ia gagal dan menanggung sakit hati yang pastinya sangat dalam.

Malam kemarin, Dita menghubungi ibunya dan memberi tahu dengan rasa canggung bahwa ia membatalkan kepulangannya ke Palembang untuk mengenalkan calon suami. Indah hanya tertawa kecil, menguatkan anak perempuannya bahwa tidak masalah kalau Dita memang belum menemukan calon yang tepat. Lalu Dita bertanya penuh rasa malu pada Indah, bagaimana ia mencintai laki-laki yang sedang dekat dengan perempuan lain. Indah hanya menasehati anak gadis satu-satunya, berjuang saja... selagi kamu tahu batas-batasnya.

My Perfect Polar BearWhere stories live. Discover now