13 || Ambisi

65.4K 10K 641
                                    

========

13

a m b i s i

========




"Riv."

"Hm."

"Kita kalau udah kayak gini tuh mending kita pacaran aja sekalian."

Riv menghela napas panjang. Dia melepaskan tangan Arraf dari bahunya. "Sebegitunya mau mengikat orang, Raf?"

"Ya... bukan ngikat juga." Arraf kembali melingkarkan tangannya di bahu Riv. "Kenapa dilepas?"

"Risih ternyata kalau kelamaan dirangkul." Riv pun berjalan sambil menyilangkan tangan. Bersebelahan dengan Arraf. "Kenapa nggak nikmati aja dulu yang kayak gini, Raf? Kita sama-sama nggak ada ikatan ke siapa-siapa. Dan karena lo single, lo bebas deketin cewek lain selain gue. Kan, masih nggak ada status. Harusnya lo seneng, sih."

Arraf terdiam. "Biasa aja, sih. Gue maunya lo. Sempat gue dua minggu vakum kontakan sama lo, gue deketin cewek-cewek lain nggak ada yang cocok. Makanya lo harus jadi pacar gue."

"Whoa, whoa." Dua tangan Riv kontan terangkat di depan Arraf, menghentikan laju jalan sang lelaki. "Raf, kalem. Gue belum terbiasa sama elo yang control freak dan orientasi ke hasil banget. Seolah kalau nggak ada hasil tuh percuma lo usaha. Itu nyeremin, oke? Gue cuma takutnya lo frustrasi kalau hasilnya nggak sesuai ekspektasi lo."

Arraf bergeming, menarik napas beberapa kali untuk menenangkan diri. "Sori. Gue tahu itu nggak sepenuhnya benar. Gue tahu seharusnya gue lebih kalem. Cuma kadang suka kelepasan terlalu ngambis."

Riv terlihat lebih rileks. Dia menurunkan tangannya, lalu kembali berjalan bersama Arraf. "Nggak semua hal di dunia ini bisa lo kontrol kan, Raf. Kalau hasil dari usaha lo nggak sesuai ekspektasi, lo bakal gimana?"

Arraf menuturkan jawaban yang sudah dia hafal luar kepala. "Gue ikhlasin. Sori, gue kadang emang suka bener-bener kelepasan kalau ngambis mendapatkan apa pun."

"It's okay. Gue cuma nggak terbiasa aja lihat orang se... uhm... yah, seambisius lo untuk memiliki atau mendapatkan sesuatu. Gue nggak tahu gimana nge-handle-nya." Riv lalu terdiam. Berjalan menuju lift untuk turun ke basement sambil menatap Arraf. "Are you okay, Raf?"

Arraf mengalihkan mata. Sungguh, dia kadang benar-benar takut dengan Riv yang bisa membaca dirinya. "I'm okay."

"Oke." Riv mengangguk. Dia lalu memasuki basement bersama Arraf. Kala mereka tengah berjalan menuju motor Arraf, Riv menghentikan Arraf sejenak dan berkata, "Raf, jangan maksain kehendak, ya. Nggak semua hal yang lo inginkan bisa lo dapatkan."

Arraf hanya memasukkan kunci motor ke slot tanpa memutarnya. Matanya melirik Riv. "Gue tahu. Tapi buat lo, gue usahain dapet."

Mata Riv terpejam sembari menarik napas. Bukan ini maksudnya. "Raf, gue bukannya nggak mau diperjuangkan. Gue hargai banget kalau lo memperjuangkan gue. Tapi... maksud gue itu, siapa tahu kita nggak jodoh, Raf. Dan kalau itu yang terjadi, it's totally okay. Makanya lo nggak perlu memaksakan harus begini, harus begitu. Kalem aja. Goals is important, tapi kita juga bisa belajar dari proses. Karena... siapa tahu ternyata kita nggak jodoh. Jadi daripada nganggep usaha sia-sia, mending pelajari sesuatu ketika kenalan sama gue. Gue juga belajar banyak kok dari kenalan sama lo gini."

Rotasi dan RevolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang