18 || Nafsu

65.1K 8.6K 936
                                    

========

18

n a f s u

========




Saat malam hari, Riv bersantai di sofa ruang keluarga lantai dua rumahnya. Sementara kedua orangtuanya tengah berada di lantai bawah.

Ganesh membuka pintu kamar dan menemukan adiknya duduk selonjoran sambil membuka ponsel. Dia ikut duduk di salah satu sofa, lalu membuka ponselnya.

Riv melirik ke arah sang kakak. Kemudian mengganti posisi duduknya. Meletakkan ponselnya di meja. "Kak," panggil Riv. "Lo udah nggak kenapa-kenapa sama Papa?"

Ganesh menautkan alis, melirik ke arah sang adik. "Nggak kenapa-kenapa gimana maksudnya?"

"Kenapa-kenapa as in lo udah nggak risih sama orientasi seks Papa gitu? Udah baik-baik aja sekarang?"

"Ohh." Ganesh mengurai kernyitannya. "Udah nggak apa-apa. Papa juga udah kasih pengertian terus-menerus sampai akhirnya gue paham."

"Oh, baguslah." Riv menarik napas. "Apa yang bikin lo berdamai sama fakta itu?"

"Ya... logika aja, sih. Terlepas dari orientasi seksnya, Papa maunya komitmen sama Mama. Dia nggak merasa ditekan society atau siapa pun untuk menikah dan mencintai Mama. Dia memang mau menikah dan membesarkan anak, punya keluarga dan emang mencintai Mama beneran, bukan cinta platonis. Gue awalnya juga bingung sih karena gue nggak pernah ngerasain yang kayak gitu. Tapi yang penting kan, Papa komitmen, Papa tanggung jawab, dan Papa nggak merasa terpaksa melakukan itu semua. He wants that. Ya udah gue sebagai anak harusnya nggak menyudutkan."

Senyum spontan muncul di bibir Riv. "Good then. Gue juga butuh waktu sih sampai tiba di kesimpulan itu."

"Iya." Ganesh menarik napas. "Lagian, logika aja kali. Kalau gue udah nikah, terus nafsu pas ngelihat cewek selain istri gue, emangnya itu berarti gue kudu melampiaskan nafsu gue dengan catcalling, ngegrepe atau ngeseks sama dia? Kan, kagak. Dan, Papa juga gitu. Bedanya, Papa nafsunya sama cowok. Hanya karena dia nafsu ya bukan berarti Papa harus seketika menyalurkannya, mengingat Papa masih komitmen sama Mama."

Senyum Riv melebar. "Kak, ini kalau ada cewek-cewek dengar, bisa naksir mereka sama lo."

"Ah, yang naksir gue udah banyak. Nggak usah nambah-nambahin," ujar Ganesh, jumawa. Membuat adiknya memutar bola mata. "Eh, lo jadi mau kenalan sama teman-teman gue? Ini gue kasih kontaknya sekarang."

"Boleh aja," jawab Riv. Kemudian, dia berpikir. "Tapi, Kak. Itu cowok kira-kira bisa paham nggak ya, sama Papa?"

Ganesh mengernyit. "Apa harus dibilangin? Maksudnya, Papa kan ya berlaku kayak orangtua normal pada umumnya walau dia ngaku gay."

Riv mengulum bibirnya. "Gimana ya, Kak. Gue ngerasa ada yang ngeganjel aja kalau nggak jujur seutuhnya ke pasangan gue. Lagian, itu juga bisa buat ngetes pemikiran dia kayak gimana ya, kan? Terbuka atau enggak pemikirannya. Semacam itu."

Ganesh manggut-manggut. "I see. Gue ngerti. Gue juga berharap bisa dapat istri yang pikirannya terbuka, sih. Bukan yang kolot."

"Gue juga berharap dapat suami berpikiran terbuka. Yang sepemikiran sama gue. Makanya gue nanya itu teman-teman lo kira-kira bisa nggak, terima Papa?"

Rotasi dan RevolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang