15 || Baper

82.1K 8.9K 941
                                    

========

15

b a p e r

========




"Kamu habis dari mana, Riv? Habis pergi?"

Riv mengerjap. Dia jelas sadar bahwa wajahnya masih ada riasan dari kencan bersama Arraf. "Uhm, iya. Habis ke mall," ujar Riv menjawab pertanyaan Virga. Lalu mengambil kapas dan make-up cleanser.

"Oh, I see. You look prettier." Virga memajukan kursi belajarnya. Menatap layar laptopnya lagi. "Kadang aku mikir. Enak ya kalau mukanya dewasa. Pakai pakaian kayak gitu cocok-cocok aja."

Kernyitan Riv muncul ketika dia mengusap wajahnya dengan kapas, ingin membersihkan riasan. "Emangnya kamu nggak pernah pakai baju begini? It's a common clothes for girls, I think."

"Pernah. Terus langsung dikomen, katanya kelihatan sok dewasa. Mentang-mentang mukaku kayak bocah." Virga mendesah.

Riv pun tertawa menyadari maksud Virga. "Baby face kali maksudnya. Bagus kali muka baby face. Kan jadi kelihatan awet muda walau usia bertambah."

Virga tertawa. "Ada plus-minus, sih. Nggak enaknya punya muka bocah itu, kalau aku pakai dress atau beberapa jenis pakaian sering dibilang sok dewasa. Padahal, aku kan udah bukan abege lagi. Usiaku bahkan di atas kamu setahun, Riv. Cuma orang-orang kalau lihat aku pada ngira aku masih SMP, makanya kalau pakai dress tuh sering dibilang sok-sok mau kelihatan dewasa. Sedih, sih. Padahal aku suka banget dress yang modelnya agak rumit gitu."

"Ya udah, apa boleh buat." Riv membuang kapasnya. "Namanya juga nasib. Kalau nggak terima, tinggal cari duit, terus operasi plastik, beres."

Virga tertawa. "Mending duitnya buat tabungan masa tuaku."

"Thought so. Lo kan emang selalu terencana. Apalagi buat masalah duit." Riv menopang dagu, menarik napas, jadi teringat salah satu temannya dulu yang terikat pernikahan dini. "Seandainya aja semua orang berpikir kayak lo, Vir. Nggak naif dan lebih sadar akan persiapan sebelum melakukan sesuatu. Mungkin dunia ini akan lebih tertata."

"Atau hancur. I'm kinda prone to negativity."

"Semua manusia kayak gitu sih, Vir." Riv kembali menarik napas. Matanya menatap langit-langit. "Cuma, gue kadang heran kenapa sebagian pada nggak mikirin the worst case scenario atas keputusan mereka. Sebagian mikirin manis-manisnya aja. Giliran mikir yang pahit, kepikirannya cuma kepahitan level cetek."

"Lebih mudah hidup kayak gitu, Riv," ujar Virga, tersenyum tipis. "Lebih mudah hidup dengan mikirin kepahitan level cetek daripada memikirkan skenario terburuknya. Kalau terus-terusan mikir skenario terburuk, nanti hidupnya jadi nggak ada harapan lagi. Sayangnya, kita berdua nggak bisa kayak gitu." Virga menghela napas. "Kadang aku mikir gimana kalau aku jadi numbless human yang ya udah ikutin aja arus yang ada. Cuma, emang akunya udah nggak bisa. Jalan hidup yang kupilih ya seperti ini. I'll deal with it."

"Indeed." Riv manggut-manggut. "Cuma kayak, gue kesal aja sih kalau ngelihat orang yang bakal hancur atas kenaifannya sendiri." Kemudian, Riv berpikir lagi. "Ehm, salah. Lebih tepatnya, gue nggak peduli sih mereka hancur atau enggak. Kalau udah gue peringati dan mereka ngeyel kan, itu udah urusan mereka. Yang bikin gue kesal adalah kalau orang-orang ini bikin anak. Yang hancur atas pilihan naif mereka kan, bukan cuma mereka. Tapi, anaknya juga kena. Ini yang bikin gue kesal." Riv terdiam, kemudian teringat. "Vir, I don't mean to remind you."

Rotasi dan RevolusiWhere stories live. Discover now