14 || Pengertian

70K 9.5K 606
                                    

========

14

p e n g e r t i a n

========




"No further explanation banget nih, Beb?"

Riv menarik napas sembari memutar bola mata. Setelah tadi Jazzlyn melihatnya habis diantar pulang oleh Arraf, perempuan itu segera memintanya menjelaskan mengenai kedekatan mereka. Riv tahu Jazzlyn memang sosialita kampus yang banyak tahu berbagai info dari Sabang sampai Merauke-nya Universitas Sapta Husada. Namun, Riv yakin Jazzlyn akan mengunci mulut jika dia memang memintanya demikian.

Menatap Jazzlyn yang tengah duduk di kasurnya, Riv menjawab, "I've told you everything, Jazz. Gue sama dia urusannya ya cuma urusan skripsi aja. Ya mana gue tahu kalau ternyata dia tertarik deketin sampai sekarang."

"Maksud gue, elonya gimana?" tanya Jazzlyn sambil memainkan rambutnya. "Are you happy when you're with him?"

Riv terdiam. Mengerjap. Berusaha menelaah sendiri perasaannya. Ya, dia merasa lumayan enak mengobrol bersama Arraf... sebagai teman. Namun, tidak ada perasaan meletup-letup yang membuatnya ingin menyengir seharian seperti yang pernah dia rasakan ketika menyukai orang. "Happy as a friend, yes."

"Aww." Jazzlyn geleng-geleng kepala. "Kasihan Bang Arraf. Ngebet deketin lo, tapi elonya malah b aja."

"Gue udah bilang ke dia buat cari cewek lain." Riv menarik kakinya ke dalam pelukan sambil duduk di kursi belajarnya. Menatap ke arah meja belajarnya yang belum dirapikan. "Tapi kata dia, dia maunya gue. Harusnya gue merasa senang, ya?"

"Uhm. Senang mah senang aja, Riv. Nggak perlu merasa 'harus senang' gitu. Kalau nggak senang atau biasa aja ya nggak apa-apa. Nggak usah dipaksain." Jazzlyn mengangkat bahu. "Tapi, yah, emang biasanya cewek-cewek bakal senang sih kalau digituin. Cuma kalau dalam kasus Bang Arraf, hm...." Mata Jazzlyn memandang ke langit-langit, lalu kembali ke Riv. "Gue akui, walau dia kelihatan kayak manusia titisan dewa, gue nggak akan mau sama dia. Dia control freak abis."

"ITU!" seru Riv. Merasa lega menemukan sesama teman yang sependapat dengannya. "Dia control freak banget, Jazz. Gila. Posesifnya itu loh! Kami masih PDKT ya, dia udah terang-terangan bilang dia nggak suka kalau gue dimiliki lelaki lain dan semacamnya. Awalnya gue kayak, ya udahlah, itu normal, kita juga pasti pernah merasa nggak mau orang yang kita suka dimiliki orang lain. Tapi... dia nih ngomongnya serem. Kayak tipe-tipe orang yang begitu udah pacarin gue, bakal masuk mode senggol-bacok ke cowok-cowok lain yang deketin gue gitu."

"Gue juga mikirnya gitu." Jazz menyisiri rambutnya dengan jemari. "Well, itulah kenapa walau Bang Arraf secara fisik dan prestasi itu tipe cowok gue banget, yang mau punya suami cowok macho dan berotak encer, yang kesuksesannya sudah terpampang nyata di depan mata; gue tetap nggak mau deket-deket amat sama dia. Dia tipe pengekang, Beb. Gue kan anaknya demen rebel. Mana mau dikekang-kekang."

"Sebenarnya," Riv hati-hati berkata, "dia bisa menerima argumen, kok. Tapi, argumennya harus masuk akal gitu. Dia nggak bisa nerima argumen yang... hm... bawa-bawa perasaan."

"Nah, itu juga masalah kenapa gue nggak mau sama dia," balas Jazzlyn. "Karena dia tuh nggak sensitif sama perasaan orang. Hatinya dingin amat kagak mikirin perasaan orang lain. Sementara gue kan melakukan sesuatu ya sesuai kehendak hati aja gitu. Pakai intuisi dan perasaan. Ya bukan berarti nggak bisa mikir logis juga. Cuma yah, gue tuh anaknya impulsif gitu loh, Riv.. Mana dia bisa ngerti kalau gue lagi ngelakuin hal itu atas dasar 'panggilan hati'?"

Rotasi dan RevolusiWhere stories live. Discover now