Part 1

4.9K 449 388
                                    

Suara alarm membangunkanku. Dengan gontai, kumatikan alarm lalu meliriknya, rupanya sudah menunjukkan pukul 6.30.

Aku beranjak dari tempat tidur, mandi, lantas mengenakan baju kasualku: kaus—kali ini merah tua, celana jeans hitam dan sepatu converse abu-abu. Aku malas sekali pergi ke sekolah. Sekolah hanya tempat yang tidak berbeda jauh dengan neraka, dipenuhi oleh para penindas dan setan-setan kecil. Aku melangkah turun ke lantai bawah sambil menenteng ransel dan hoodie abu-abuku, menuju dapur untuk menyantap sarapan. Di ruang makan, tampak adikku yang berusia sebelas tahun dan Ibu tengah membuat roti panggang. Kami hanya tinggal bertiga, ayahku sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan lima tahun yang lalu ketika aku berusia sepuluh. Kenangan masa kecil yang buruk, kurasa.

Sarapan kulahap kilat sebelum menyambar ransel dan skateboard. Aku selalu pergi ke sekolah menggunakan skateboard, sedangkan Kimberly berangkat dengan bus sekolah. Aku tidak sudi berangkat dengan bus sekolah. Alasannya mudah, aku tak menyukai keramaian. Meski bus jauh lebih efisien, pergi dengan skateboard jauh lebih baik bagiku. Lagi pula, hitung-hitung mengurangi polusi. Aku benci udara kotor.

"Jika para setan itu mengganggumu, lapor kepadaku, oke?" ujarku.

"Tentu, Ezra. Terima kasih," balasnya.

Aku memakai kata 'setan' untuk menyebut para anak sekolahan dan penindas itu. Aku tahu itu sebutan yang tidak pantas, tetapi apa boleh buat, aku amat muak dengan mereka. Yah, aku dan Kimberly, kami memang korban bullying. Namun beruntung Kimberly sudah tidak terlalu sering mengalaminya. Jika mereka berani mengganggu adikku, maka mereka akan berhadapan denganku. Aku selalu mengetahui siapa saja yang berani bermacam-macam dengan adikku. Meski kami pergi ke sekolah yang berbeda, tetapi jarak sekolah kami tak jauh.

Selang beberapa menit kemudian, aku tiba di sekolah dan selamat datang di nerakaku. Sembari melangkah di koridor sekolah, kulihat para setan itu memandang sinis dengan penuh kebencian kepadaku. Penindasku rata-rata laki-laki, sementara para perempuan? Mereka kebanyakan menyukaiku. Entah mengapa mereka menyukaiku, aku tidak tahu dan tidak peduli. Tanpa mempedulikan mereka, aku berjalan menuju kelas, mengambil kursi di pojok kanan, paling belakang. Aku gemar menyendiri. Aku tidak memiliki teman di sini, tapi aku punya banyak musuh, bahkan guru-guru di sini kuanggap musuh. Mereka menganggapku aneh, tapi itulah diriku. Aku hanya menjadi diriku sendiri, bukan menjadi manusia pembohong yang berpura-pura baik di depan tapi menusuk dari belakang. Aku membenci orang-orang dan aku tak menutupinya. Terlalu banyak orang munafik di dunia ini dan aku tak ingin menjadi salah satu dari mereka.

Tak lama kemudian bel berbunyi, pelajaran pertama pun dimulai. Hari ini pelajaran matematika, musuh bagi hampir seluruh murid di dunia ini. Dapat kudengar decihan kesal para murid ketika guru matematika melangkah masuk ke dalam kelas tepat waktu. Rasanya mengeluarkan sebuah novel untuk dibaca selama pelajaran ini berlangsung merupakan rutinitas wajib untukku.

Dan berkumandanglah teguran guru keparat itu.

"Tuan Razer! Lagi-lagi kau! Membaca novel lagi di pelajaranku? Maju ke depan sekarang juga!" tegur Mrs. Elle penuh amarah.

Kutaruh pembatas di halaman novel lalu menghampirinya di depan. Ia mengganggu waktuku saja. Mengapa ia harus menegurku di bagian yang seru? Aku perlu tahu ke mana Poirot dan Hastings akan pergi setelah itu. Oh, saatnya berhadapan dengan salah satu gorila yang suka mengamuk di kelasku ini.

"Mengapa kau selalu membaca novel di pelajaranku? Kau pikir kau sudah pintar, hah? Ayo jawab!" bentak guru itu sambil menunjukku dengan spidolnya. "Ayo jawab! Kau sudah pintar?!"

"Tidak apa-apa. Aku hanya tak menyukai matematika. Tak berguna sama sekali." Baiklah, aku tahu kata-kataku kali ini benar-benar tak sopan. Dan satu lagi, aku hanya tak suka gurunya, bukan pelajarannya.

I Am a Killer [versi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang