Part 22

681 128 31
                                    

Aku dan Kimberly akhirnya menemukan sebuah flat setelah seharian penuh berkeliaran di jalan. Kami tidur di salah satu taman karena tak tahu harus ke mana. Rumah lama kami terlalu berisiko, bisa saja James menaruh beberapa kamera pengintai di dekatnya.

Sedikit kusesali karena flat ini tak senyaman apartemen sebelumnya. Namun ibuku pernah berkata, syukuri apa adanya-kuakui aku agak munafik sekarang, karena aku sedikit tidak rela saat ini. Flat ini terdiri dari tiga lantai, aku dan Kimberly menempati lantai dua, paling pojok. Dan omong-omong udara di sini entah mengapa jauh lebih dingin. Rasanya salju seperti pindah ke dalam, aku sampai tidur dengan sweatshirt dan hoodie sekaligus ditambah selimut.

Aku meratapi sebilah pisau lipat di tanganku. Kami membunuh lagi beberapa hari yang lalu, tepatnya dua hari setelah kami pindah ke flat baru. Lebih tepatnya, kami membunuh beberapa orang.

Sekumpulan gadis yang kutaksir usianya sekitar tujuh belas tahun tengah menindas seorang gadis malang lainnya. Yang membuatku geram adalah karena hal sepele, pacar dari ketua kelompok gadis itu meminjam buku dari si gadis malang.

Tanpa berpikir panjang tentu saja kami membunuhnya. Mudah sekali, aku mengurus bagian mencabut nyawanya, sementara Kimberly membuat mereka tak bisa kabur. Maksudku dengan membuat mereka tak bisa kabur adalah mematahkan tulang-tulang mereka. Seperti biasa adikku itu akan mematahkan lengan mereka dengan cepat terlebih dahulu untuk 'mengalihkan perhatian' kemudian mematahkan kaki mereka. Kimberly bisa jadi ganas jika ia mau. Jika kaupikir mematahkan tulang sudah termasuk ganas, maka menurutku itu belum masuk kategori 'ganas' untuk Kimberly.

Sudah sekitar tiga minggu kami menempati flat ini. Tak banyak yang terjadi. Kimberly memberiku sebuah topi beanie abu-abu gelap untuk ulang tahunku 2 Februari lalu. Polisi-polisi masih mencari kami. Sekolahku ramai dengan peristiwa gambar-gambar jari tengah serta penis yang kugambari di loker-loker itu-aku menguntit Twitter anak-anak sekolah dan sosial media lainnya. Aku memasukkan kembali pisau lipat yang kubawa ke dalam kantong hoodie kelabuku kemudian mengambil gelas berisi cokelat panas yang sudah tuntas diisi dari mesin, memasang tutupnya, dan membawanya ke meja kasir. Kuabaikan ucapan terima kasih kasir setelah membayar, dan segera keluar dari minimarket.

Aku merasakan perasaan tidak enak selama beberapa minggu ini. Mungkin tepatnya semenjak akhir Januari. Sungguh tak mengenakan, membuatku gusar-padahal tak ada hal yang membuatku gusar. Seperti sebuah perasaan yang menyesakkan dada, tetapi aku tak tahu itu apa.

Kimberly tengah bersantai di sofa ditemani sekantong keripik kentang begitu aku sampai. Kucomot sekeping keripik sebelum membanting tubuhku di sebelahnya. Ia asyik memainkan sebuah permainan di ponselnya, sementara aku membuka internet untuk mencari kabar lain. Tidak ada wifi di sini, tetapi salah seorang penghuni memiliki wifi. Apa yang kulakukan setelah itu? Meretasnya. Meh, aku bukan tipe remaja sopan yang akan menanyakan kata sandinya. Kecuali ibu pemilik apartemen kami sebelumnya, ia sudah memberi tahu kami kata sandinya bahkan sebelum kami menanyakannya. Yah, terakhir kudengar, tetangga kami itu tengah bingung mengapa tagihan internetnya melonjak naik.

"Apakah itu cokelat?" tanya Kimberly. "Minta."

Ogah-ogahan aku menggeleng, kemudian menyesap cokelatku.

"Ah, ayolah. Ezra? Kumohon?" Kimberly memberiku tatapan anak anjingnya.

Aku meliriknya cuek, kembali menyesap minumanku.

"Kejam, aku tidak mau berteman lagi dengan Kakak. Kau jahat tidak mau berbagi," sinis Kimberly kekanakkan. Kenapa tiba-tiba ia jadi seperti anak kecil? Dan tumben sekali ia memanggilku dengan sebutan 'Kakak' seperti itu.

Yah, ia memang memanggilku dengan sebutan itu, tetapi hanya sesekali. Sekadar informasi, ketika ia kecil, ia selalu memanggilku dengan 'Kakak'. Namun seiring berjalannya waktu, panggilan itu berubah dan ia lebih sering memanggilku dengan namaku.

"Jika kau tidak memberiku cokelat itu..." Oh, mari kita mulai lagi permainan ancam-mengancam antar saudara ini.

"Apa? Menendang penisku? Silakan," balasku cuek.

"Ah, ayolah! Aku miskin, Ezra! Beri aku sesesap!" rengeknya.

Dengan malas kusodorkan gelas cokelatku, yang kemudian ia sambut dengan gembira. Setidaknya wajahnya riang.

***

Aku masih bersantai di ruang tengah dalam kegelapan, sibuk dengan laptopku. Brandon meringkuk di kakiku, tertidur ayam-ayam. Kimberly sudah berada di dalam kamarnya.

Kutarik tali hoodie-ku sehingga tudungnya yang menutupi kepalaku mengerut, menyisakan sedikit celah untuk wajahku. Tetangga kami mengganti kata sandi wifi-nya dan aku tengah berusaha meretasnya lagi. Mudah sekali. Dengan santai, kumasukkan kata sandi baru itu dan bum, langsung terkoneksi.

Kumatikan laptop dan menyandarkan punggungku di sandaran sofa. Aku benci keadaan seperti ini; di malam hari pikiranku selalu berkecamuk. Permasalahan ekonomi, tempat tinggal, kepolisian, dan sejenisnya. Aku tak punya ide sama sekali bagaimana cara mengatasinya. Bekerja? Memangnya aku bisa bekerja apa? Kami sudah menghemat segalanya. Bahkan makan malamku tadi hanyalah cokelat panas yang kubeli tadi sore dan beberapa keping keripik kentang Kimberly.

Aku merapikan laptopku dan beranjak dari sofa, hendak tidur. Tidur merupakan solusi segala masalah. Sebelum menuju kamarku, aku membuka sedikit pintu Kimberly; sekadar mengeceknya. Di luar dugaanku, rupanya anak itu masih terjaga. Ia menatapku begitu aku menyembulkan kepala dari balik pintunya.

"Hey, kau belum tidur?" sahutku.

Ia menggeleng. "Tidak bisa."

Kunaikkan alisku. "Apa ada yang mengganjal pikiranmu?"

"Tidak juga," balasnya. "Aku hanya ... tidak bisa tidur."

Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya memasuki kamarnya. Aku mendekatinya dan mendorong bahunya lembut agar berbaring di bantalnya lalu duduk di sebelahnya.

"Tidurlah," bisikku.

"Aku hanya terlalu asyik berpikir, apakah kehidupan kita akan seperti ini selamanya?" tanyanya seraya menatap langit-langit kamar.

"Siapa yang tahu?" balasku.

Ia tak berkata apa-apa setelah itu. Kedua mata kelabunya melirik. Lama ia melirikku, sebelum akhirnya memanggilku kembali. "Ezra?"

Aku menaikkan kedua alis sebagai balasan.

"Maukah kau menemaniku tidur malam ini? Aku tak bisa tidur."

Aku mengerutkan kening sejenak. Kutatap adikku lamat-lamat, sebuah keanehan ia memintaku untuk menemaninya tidur. Aku pun mengangguk.

Kimberly menggeser tubuhnya kemudian aku bersandar di dekatnya. Adik kecilku tanpa diduga memelukku-yang amat jarang ia lakukan. Kuhela napas kemudian mendekapnya erat, membiarkannya terkulai di dadaku.

Dan setelah itu, hanya dalam hitung menit, ia langsung tertidur di dekapanku.

##

THIS IS ONE OF MY FAV PART TOO ASDFGHJKL EZ AND KIM ARE SUCH A CUTE SIBLINGS (╥﹏╥)

I Am a Killer [versi revisi]Where stories live. Discover now