Part 14

921 138 71
                                    

Aku menyantap makananku lahap hari ini. Bukan karena ini pizza, melainkan karena aku lapar. Amat lapar. Porsi ini tak akan cukup. Andai saja ini adalah pizza dan porsinya banyak, semuanya adalah surga bagiku.

"Pelan-pelan," komentar Kimberly sambil menatapku aneh. "Kau makan seakan sudah kelaparan selama dua minggu."

"Diamlah, aku lapar," geramku galak kemudian kembali melahap makananku.

Kimberly memutar bola mata, ia melahap makanannya dan menopang dagu. "Tadi pagi kau ke mana? Aku tak melihatmu."

"Aku sakit."

Kimberly tergelak penuh sarkasme. "Ezra Jeffrey Razer? Sakit? Ternyata dia bisa sakit juga?"

Aku mendecih mendengar perkataannya. Begitu makananku tandas, kuteguk sebotol air yang tersedia seraya menatap Kimberly yang masih menyantap makanannya. Terbesit ide gila di benakku. Entah Kimberly akan setuju denganku atau tidak, tapi aku akan membicarakannya dengannya.

"Rasa makanan di sini aneh. Masakan Ibu lebih enak," gerutu Kimberly dengan bibir cemberut. "Masakan Ibu jika disandingkan dengan makanan di sini bagaikan Channel versus Walmart."

"Makan saja, Kimber-Joy," timpalku. "Sudah bagus kau diberi makan. Bukannya bersyukur." Aku kembali meneguk airku.

Kali ini Kimberly menatapku takjub. "Ada apa denganmu hari ini? Tadi kau mengaku sakit, sekarang malah menasehatiku, padahal biasanya kau yang suka mengeluh tak mendapat pizza. Kak, kau sehat?" Kimberly mengecek kening dan kedua pipiku.

Aku menjauhkan wajah darinya. "Apa-apaan kau."

Kimberly akhirnya menyelesaikan acara makannya-meski sisa sedikit. Ia meneguk airnya dan bersendawa kecil.

"Hey, Kim. Aku punya ide," sahutku.

"Apa? Lomba makan kertas?"

"Bukan, Bodoh," desisku. Aku lalu memelankan suara. "Aku berpikir untuk ... kabur."

"Kau gila?" Kimberly menatapku horor seakan ia melihat cookie monster dengan usus yang terbuai-buai keluar dari perutnya yang robek.

"Tentu tidak. Kita sudah cukup lama di sini. Kita harus keluar-atau kabur, istilah tepatnya."

"Iya juga, sih. Aku sudah lama tak menonton Gravity Falls dan Phineas & Ferb." Kimberly mengiakan.

"Plus nasib Brandon yang entah bagaimana kabarnya sekarang. Bisa saja sekarang ia meringkuk kedinginan tanpa rumah, atau mengais-ngais sampah dengan perut mengecil karena kelaparan," tambahku.

Aku dan Kimberly sama-sama menopang kepala di atas meja setelah itu, dengan jemari mengetuk-ngetuk permukaan meja-bersamaan-seolah tengah berpikir keras apa itu fungsi tulang ekor. Kemudian kami saling bertatapan lagi.

"Jadi, kita akan kabur?" tanyanya pelan.

"Aku berpikir seperti itu. Tetapi kita harus merencanakannya matang-matang. Rumah sakit jiwa ini lebih kompleks ketimbang penjara. Kita tidak bisa kabur begitu saja," kataku. "Apa kau tahu bagian-bagian tempat ini?"

"Terkadang jika bosan aku iseng keluar dari kamar dan berkeliling," jawab Kimberly. "Kenapa?"

"Kita perlu mengetahui bagian-bagiannya."

Hari itu, aku dan Kimberly asyik bercengkerama sembari berkeliling. Sebagai sandiwara. Orang-orang akan mengira kami kakak-beradik yang akrab-memang kenyataannya begitu sih-dan kami tengah asyik mengobrol sambil berkeliling. Motif kami adalah mengenali bagian-bagian tempat ini dahulu. Pada jam makan malam kami kembali bertemu dan membicarakan rencana kabur lagi, sembari berbagi informasi tentang staf-staf, dokter, janitor, perawat, dan petugas. Kami pun berkeliling secara terpisah untuk mempelajari bagian-bagian tempat ini lebih dalam lagi.

I Am a Killer [versi revisi]Where stories live. Discover now