Part 9

1.1K 155 65
                                    

Langit sedikit mendung pada sore ini. Aku ingin sekali ke luar untuk sekadar berkeliling kawasan rumah dengan skateboard. Namun aku tahu aku tak akan dapat melakukannya karena para tetangga bisa saja melihatku. Kimberly setengah berbaring di sofa sambil memainkan bulu Brandon. Aku duduk tak jauh darinya sambil mengecek media sosial, hingga akhirnya menutupnya kembali dan lagu Carolyn milik Black Veil Brides mengalun lewat earphone yang menyumpal telingaku.

Entah mengapa jika mendengar lagu ini, membuatku teringat dengan Ibu. Mengingatkanku pada sesuatu yang pernah Ibu katakan padaku ketika kecil. Kutopang kepalaku dengan tangan, mulai mengingat-ingat masa kecil. Entah mengapa hari ini aku banyak bernostalgia. Ingatanku kini melayang ketika diriku masih berusia enam tahun, kalau tidak salah. Ketika aku mengadu pada Ibu bahwa mereka menindasku.

"Ibu," panggilku sambil menghampiri Ibu.

Ibu menunduk untuk menatapku dan tersenyum lembut. "Ya, Sayang? Ada apa?"

"Aku tidak memiliki satu pun teman. Mereka kejam. Bobby menyuruh mereka untuk menjauhiku."

"Benarkah?" Ia menatapku tertegun, yang kubalas dengan anggukan. Ibu kemudian menunduk, dan mengusap rambutku. "Apa kau benar-benar sendirian di sekolah?"

"Tentu saja! Ibu bilang jika aku sekolah, aku akan mendapat teman. Tetapi buktinya aku tak punya teman."

Ibu tergelak kecil, dan memegang kedua bahuku lembut. "Tidak, Sweetheart. Siapa bilang kau tak punya teman? Kau masih punya dua teman. Salah satunya adalah sahabatmu."

Aku yang baru berusia enam tahun hanya menatap Ibu bingung, karena sudah jelas-jelas aku tidak memiliki teman.

"Aku tidak punya teman," balasku sambil mengerutkan kening.

Ibu mengulas senyuman lembut. "Temanmu adalah Tuhan. Kau tahu bukan, sahabat itu apa? Sahabat itu, adalah teman yang selalu bersamamu, dan akan selalu bersamamu selama-lamanya, di sisi mu, tapi kadang kamu tidak menyadarinya bahwa ia ada. Sahabatmu itu adalah bayanganmu sendiri, Ezra. Ia akan selalu bersamamu. Maka itu, kau tak sendirian, karena Tuhan, dan bayanganmu sendiri akan selalu bersamamu."

"Aneh sekali. Berteman dengan bayangan?"

"Ya, dan itu tidak aneh, sayang."

Aku menunduk untuk memandang bayanganku, dan kembali menatap Ibu. "Tetapi bayangan akan meninggalkan kita di kegelapan. Lihat saja, sekarang ia pergi, karena lampu redup."

"Bayangan tak pernah pergi, Ezra," ujar Ibu dengan senyuman. "Mereka hanya bersembunyi di kegelapan. Hanya saja tak terlihat."

Aku melirik bayanganku di lantai dan menghela napas. Ibu memang benar. Bayangan adalah sahabat terbaik. Ia akan mengikuti apa pun yang kau lakukan. Ia selalu menjadi apa pun seperti dirimu yang apa adanya. Gila memang. Menganggap bayanganmu sendiri sebagai teman. Tapi bayangan memang teman, hanya saja mereka seringkali tak kita anggap.

"Jadi," Kimberly menyahut. "Apa kita akan begini saja terus-menerus? Tak bertindak apa pun?"

"Aku memiliki ide yang nekat. Namun jika kita melakukannya, mau tak mau kita harus keluar dari rumah ini," balasku sembari melepas earphone dari telinga.

"Memangnya apa?"

"Membunuh, membunuh, dan membunuh. Karena jika kita terus membunuh, para polisi dan James tentunya akan terus sibuk karena harus mengurus kasus pembunuhan ini. Dan jika kita terus membunuh, maka...."

"Para polisi akan kerepotan karena mengurus kasus pembunuhan yang terlalu banyak," lanjut Kimberly berbarengan denganku.

"Baguslah, kau mengerti, Kim."

I Am a Killer [versi revisi]Where stories live. Discover now