Part 24

795 129 18
                                    

Aku tengah melahap lasagna ketika Kimberly datang menghampiri dan mengempaskan dirinya di sebelahku. Brandon duduk dengan manis di hadapanku seraya terus-menerus menjilati bibirnya, berharap aku berbaik hati untuk membaginya walau sedikit.

"Aku bosan," keluh Kimberly.

"Lalu? Apakah itu urusanku?"

"Jahat."

Kimberly beranjak dari duduknya, masuk ke dalam kamarnya, dan keluar dalam waktu singkat. Ia membawa sebuah kotak. Tunggu, apakah itu ular tangga?

"Kakak, ayo main ular tangga," ajaknya. Aku bahkan tidak tahu ia membawa ular tangga.

"Apa? Terakhir kali kita memainkannya adalah ketika ... aku sembilan dan kau enam tahun." Aku menggeleng-geleng.

Kimberly langsung menunjukkan wajah sadisnya. "Ayolah."

Mengalah, kuletakkan kotak lasagna instan di atas meja, sementara Brandon langsung bangkit dan mengendusnya.

"Kau duluan," ucapku.

Kimberly kemudian mengambil dadu dan mengocoknya dalam genggaman tangannya. Ia melepaskan genggamannya dan setelah bergelinding beberapa saat, dadu itu berhenti. Langsung menunjukkan nomor enam. Ia kembali mengocoknya, kali ini lima. Ia maju lima kotak. Giliranku. Kukocok dadu, melemparnya, hingga berhenti bergelinding dan menunjukkan nomor...

"Apa-apaan? Mengapa aku selalu mendapat nomor 1?!" seruku.

"Takdir," Kimberly terkekeh.

Aku tak dapat maju sama sekali. Kimberly kemudian mengocok dadunya dan berhenti di nomor ... lima? Apa-apaan?

"Damn, kau selalu beruntung," keluhku. Kimberly menyeringai penuh kemenangan. Ia kemudian maju lima kotak, dan...

"Apa?! Kau berhenti di kotak yang ada tangganya? Tidak adil!" Aku menatapnya tak terima. Kimberly terkekeh licik. Pionnya naik hingga nomor dua puluh lima. Sialan.

Sekarang giliranku. Kukocok dadu itu dan (akhirnya) mendapat nomor enam. Lantas kembali kukocok dan lagi-lagi angka satu yang keluar.

Oh, Dewi Fortuna. Aku membencimu hari ini.

Sungguh, rasanya aku ingin sekali menghancurkan dadu sialan ini. Enggan, aku maju satu kotak. Kimberly kembali terkekeh, kemudian mengocok dadunya dan mendapat nomor empat.

"Apa? Aku harus turun? Sialan!" Kimberly merengut sebab ia berhenti di kotak yang ada ularnya. Kini giliranku yang tersenyum penuh kemenangan.

Dan lima belas menit kemudian permainan semakin serius. Kami terus-menerus mendapat kotak yang memiliki ular, sehingga kemajuan permainan cukup lamban. Meski begitu, kini kami seri. Kami sama-sama berada di kotak nomor sembilan puluh lima.

"Mierda," aku mengeluh melihat angka yang ditunjukan dadu. Hanya dua.

"Giliranku." Kimberly mengocok dadunya dan ia mendapat nomor satu.

Aku kembali mengocok. Dua lagi. Padahal tinggal satu kotak lagi. Mau tak mau aku terpaksa berhenti di kotak nomor sembilan puluh sembilan.

"Damn, damn. Tinggal satu kotak lagi," keluhku. Sekarang giliran Kimberly. Ia kemudian mengocok dadunya, dan ia mendapat nomor empat.

"Hell, yes! Aku menang!" Kimberly berseru sambil menaikkan kedua tangannya ke udara dan maju empat kotak. Ia berada di kotak keseratus.

"Mengapa aku selalu ditakdirkan untuk kalah di permainan ini?" keluhku karena itu memang benar. Setiap kali kami bermain ular dan tangga, aku selalu kalah. Hanya menang beberapa kali saja, bisa dihitung dengan jari. Sedangkan Kimberly? Entah sudah berpuluh-puluh kali ia menang. Namun berbeda lagi ceritanya jika kita bermain catur, justru kebalikannya. Aku selalu menang.

I Am a Killer [versi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang