Part 11

848 142 44
                                    

Aku meringis begitu terbangun. Dahiku berkerut begitu sadar aku berada di tempat yang asing. Aku terbaring di atas ranjang, tetapi aku yakin betul ini bukan kamarku. Kamarku berdinding abu-abu, di sini semuanya putih. Aku bangkit duduk dan melirik sekitar. Ranjang ini berseprai putih dengan selimut abu-abu terlipat di ujungnya, di depannya ada sebuah kaca dengan wastafel, dan terdapat sebuah meja di pojok ruangan. Aku menoleh ke kiri. Kemudian mendongak, ada kamera pengintai di atas sudut ruangan. Tempat apa ini? Aku beranjak dari ranjang dan berusaha membuka pintu. Terkunci.

Kubuka pintu dengan susah payah, menarik, dan memutar kenopnya berkali-kali, dan mulai menggedor-gedor pintu. Beraninya mereka mengurungku. Dan di mana Kimberly? Di manakah adikku? Kuhantamkan kepalan tanganku ke pintu dengan keras, berusaha mengatur napasku. Sadar bahwa usahaku sia-sia, aku kembali terduduk di ranjang dan mengusap wajah frustrasi. Apa lagi yang harus kuhadapi sekarang?

Tiba-tiba, terdengar suara klik dari arah pintu. Seorang wanita berpakaian seperti dokter melangkah memasuki kamar ini. Ia tersenyum lembut lalu menghampiriku.

"Sore, Ezra," ucapnya. "Perkenalkan, aku Dokter Ruby Atwell. Kau bisa memanggilku Dokter Ruby."

"Di mana aku?" balasku dingin.

"Kau berada di Pusat Psikologi—"

"Apa katamu?" potongku. "Apa kau bercanda?!"

"Ezra, tenanglah—"

Aku bangkit dari ranjang, menatapnya penuh amarah. "Persetan, Dokter! Aku tidak gila!"

"Ezra, tolong duduk dahulu. Kau tak gila. Kau hanya akan diperiksa," Ia berkata dengan tenang, tetapi suaranya penuh ketegasan. "Kami tak akan menyakitimu. Duduk dan tenanglah."

"Aku tak peduli dengan pemeriksaan ini itu. Keluarkan aku dari tempat sialan ini," desisku dingin.

"Kau tak akan bisa keluar jika terus memberontak. Sekarang duduklah." Dokter Ruby berkata dengan tenang.

Kuhela napas dengan kasar dan kembali duduk di ranjang. Dokter Ruby mengambil kursi dari meja, dan menariknya di depanku. Ia duduk di atas kursi itu dan mulai membuka dokumen yang ia bawa.

"Tak perlu emosi, Ezra. Kau akan baik-baik saja di sini," Ia kembali berkata. "Nah, boleh kita mulai sekarang?"

Aku tak membalas.

Ia tersenyum kecil, dan menatap dokumennya, kemudian kembali menatapku. "Sudah tenang?"

"Di mana adikku?" aku mengabaikan pertanyaannya.

"Adikmu berada di kamar lain. Namun masih di lorong yang sama dengan kamarmu. Aku akan mengunjunginya setelah ini," jawabnya.

"Jangan taruh adikku di sini."

"Kami tak bisa. Ia juga harus direhabilitasi."

Aku memajukan tubuh. "Kau tak mengerti apa pun. Ia sudah cukup tertekan dengan apa yang ia terima selama ini. Dan kalian hanya akan membuatnya semakin tertekan jika menaruhnya di sini."

"Aku tahu kau khawatir. Namun aku tak bisa melakukannya. Adikmu akan baik-baik saja, aku berjanji." Ia kembali menatap dokumennya. "Sekarang, apa kau keberatan jika aku menanyakan beberapa hal?"

Aku tak menjawab. Dokter Ruby tersenyum tipis, dan samar dapat kudengar helaan napasnya.

"Jadi, kau bersekolah di City of London High School. Kedua orangtuamu telah wafat, dan kau hanya berdua dengan adikmu sekarang," katanya. "Aku minta maaf atas orangtuamu. Pasti sangat berat bagimu."

Lagi-lagi, aku hanya diam.

"Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah menyenangkan?"

"Neraka."

I Am a Killer [versi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang