Part 19

787 125 36
                                    

Brandon melangkah di sampingku dengan riang. Anjing hitam itu mengibaskan ekornya santai, sementara lidahnya terjulur normal. Sesekali ia mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Kubetulkan letak beanie di kepalaku, kemudian melangkah santai di trotoar. Nekat memang, berjalan-jalan sementara aku adalah buronan polisi-meski begitu aku dalam penyamaran.

Ini adalah hari pertama di tahun 2015. Tidak ada bedanya. Yang berbeda hanya tahunnya dan sebentar lagi aku berusia enam belas tahun. Brandon berjalan jauh lebih cepat untuk menyusul langkahku.

Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang gadis aneh. Ia berusia tiga belas tahun. Siapa namanya? Ah, aku lupa. Linda? Lauren? Tunggu, aku ingat sekarang. Lindsey.

Aku mengenalnya di sekolah menengah pertama. Well, tak benar-benar mengenalnya, hanya sekadar tahu namanya. Berbicara pun tak pernah. Aku tahu namanya karena ia senasib denganku; korban penindasan. Ia gadis yang aneh. Ke sekolah mengenakan hoodie merahnya, selalu menunduk dengan tudung hoodie yang menutupi rambut cokelat ikalnya. Wajahnya selalu terlihat sendu dan datar. Kurasa ia memiliki masalah dengan kepercayaan diri yang merupakan akibat dari ditindas. Berbeda denganku yang sering kali berkelahi jika sudah ditindas di luar batas wajar, Lindsey berbeda. Ia selalu diam. Tak pernah menanggapinya. Hanya diam. Pasrah.

Pernah ketika aku duduk di kelas sembilan, ia diguyur ember bekas pel di koridor sekolah. Gadis itu hanya diam, menatap satu per satu penindasnya dengan tatapan kosong. Jika aku jadi dia, mungkin aku sudah menggorok mereka. Aku cukup terkesan dengan kesabarannya.

Aku bertemu dengannya waktu itu. Ia mengenaliku meski aku tengah menyamar. Aku cukup tertegun ketika mengetahui ia ternyata bisa menyapa orang. Ia menyapaku dengan kaku dan kikuk. Kemudian kami berbicara sebentar.

Ia tahu siapa diriku sebenarnya. Ia tahu aku tengah terlibat kasus pembunuhan. Ia yakin aku memang membunuh Bobby, Daniel, dan Jasper. Namun bukan itu yang menarik perhatianku.

Ia tahu segalanya. Ia tahu berapa hari aku tak masuk sekolah, hingga detail-detail lainnya. Entah ia menguntitku atau apa, aku tak tahu. Beberapa kali aku bertemu dengannya waktu itu. Ia tak pernah memberi tahu siapa pun bahwa ia menemuiku. Entah apa maksudnya, aku tak tahu. Gadis itu membiarkanku bebas begitu saja, sementara ia padahal bisa saja melapor pada polisi setempat.

Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah dua hari sebelum natal. Aku membunuh salah seorang penindasnya. Ia tak percaya saat itu, tetapi masih tak mengatakan apa pun. Kemudian aku tak pernah melihatnya lagi. Ia gadis yang aneh.

Aku sampai di depan apartemen dan melangkah masuk. Sudah selesai jalan-jalanku dengan Brandon. Novel Life of Pi milikku yang dipinjam Kimberly tadi pagi tergeletak begitu saja di ruang tengah. Ia mengeyel bahwa novel itu tidak seru tadi, tepat sebelum aku pergi dengan Brandon. Nyatanya sekarang ia sudah mencapai seperempat buku dari pembatas yang ia letakkan.

Kimberly tak terlihat di mana pun. Di dapur tak ada. Kamar mandi pun tak ada. Barangkali di kamarnya. Kubuka pintu kamarnya, dan betul saja ia tengah meringkuk memeluk bantal.

Namun ada yang salah. Ia membenamkan wajahnya di bantal, meringkuk laksana bayi, tetapi bahunya terlihat begitu tegang. Aku melebarkan mata, ada apa gerangan ia menangis?

"Hey?" panggilku seraya duduk di sebelahnya. "Kenapa? Ada apa?"

Ia tak menjawab, enggan menunjukkan wajahnya. Ada pisau lipat kecil tergeletak di sisi bantalnya, sedikit berlumur darah.

Kuraih pundaknya. Kemudian ia mulai terisak dan memelukku. Gadis kecil itu membenamkan wajahnya di bahuku, memeluk leherku erat, menangis hebat.

"Aku rindu Ibu," rengeknya dalam isakannya.

I Am a Killer [versi revisi]Where stories live. Discover now