Part 23

743 136 44
                                    

James menengadahkan kepalanya ketika pintu ruangannya dibuka. Kedua mata cokelatnya menatap tajam sosok Dokter Ruby yang melongokkan kepalanya. Kikuk, wanita itu melangkah masuk.

"Pagi," sapanya. "Anda memanggil saya semalam untuk datang pagi ini. Ada apa?"

"Duduklah," balas James.

Dokter Ruby lantas menduduki kursi di hadapan James, ia meletakkan tas selempangnya di atas pangkuannya. Ia memperhatikan polisi di hadapannya yang tengah sibuk dengan berkas, menunggunya hingga selesai. Pria itu merapikan berkas-berkasnya, menumpuknya menjadi satu sebelum akhirnya menatap Dokter Ruby.

"Aku ingin membicarakan perihal si bersaudara," ucapnya langsung ke poin permasalahan tanpa basa-basi.

"Bukankah saya telah diinterogasi beberapa waktu yang lalu ketika mereka baru saja kabur?" Dokter Ruby bertanya. "Ada apa lagi?"

"Tidak bermaksud untuk menyinggung sebelumnya, Dokter. Tetapi aku mencurigaimu."

Dahi wanita itu berkerut. "Maaf? Anda mencurigai saya?"

"Aku kira kau bisa bekerja sama baik dengan kami, tapi menurut saksi salah seorang perawat, kau terlihat jauh lebih ... terikat dengan mereka," ujar James. Ia memajukan tubuhnya, kedua matanya yang setajam elang menatap Dokter Ruby. "Apa perlu kuingatkan siapa mereka, Dokter?"

"Saya bekerja sama dengan kalian, tetapi Anda perlu ingat juga bahwa saya adalah seorang psikolog, dan tujuan dari pekerjaan saya adalah membantu orang lain," balas Dokter Ruby. "Saya tahu mereka adalah pembunuh, tetapi perlu saya ingatkan lagi, mereka hanyalah anak-anak."

"Ya, anak-anak. Anak-anak yang telah membunuh dua puluh tiga orang selama enam bulan belakangan ini, sejak September hingga Februari. Oh, ya. Mereka hanya anak-anak biasa, itu sebabnya kau mengasihaninya!" seru James penuh sarkasme. "Mereka bukan anak-anak, Dokter. Mereka monster."

"Mereka bukan monster. Mereka hanya anak-anak yang kejiwaannya terganggu dan selalu dikucilkan," debat Dokter Ruby.

"Aku sudah memperingatimu sejak awal untuk tidak terpengaruh oleh mereka, dan sekarang kau mulai terpengaruh. Kau menyayangi mereka."

"Saya menyayangi semua anak-anak di pusat psikologi," bela Dokter Ruby.

"Tapi yang ini berbeda. Kau memperlakukan mereka berbeda. Karena apa? Karena mereka adalah yatim-piatu malang, ditindas di sekolahnya, dikucilkan? Apakah itu yang dikatakan si bajingan Ezra kepadamu?" tanya James. "Anak itu seorang manipulator, Dokter. Dan kau berhasil terpengaruh olehnya."

"Anda bilang saya menyayangi mereka dan itu benar," kata Dokter Ruby. "Saya menyayangi mereka, bahkan bisa jadi melebihi rasa sayang biasa yang saya rasakan pada anak-anak bermasalah lainnya. Tapi biarkan saya beri tahu, mereka mungkin pembunuh, tetapi bukan berarti hati mereka buruk."

"Tidak ada pembunuh yang baik hati, Dokter. Mereka adalah pembunuh bersaudara tak berbelas kasihan. Tak punya empati di hatinya," desis James.

"Namun saya melihat sesuatu di dalam diri mereka, Tuan Johnson," tutur Dokter Ruby. "Andai Anda mau melembutkan hati sedikit maka Anda mampu melihatnya. Mereka tak seperti yang Anda bayangkan."

Hening. Mereka saling bertatapan.

"Mereka mungkin pembunuh, tetapi ada sesuatu di dalam diri mereka, terutama Ezra," katanya. "Hati mereka tidak jahat. Mereka bukan orang-orang yang jahat. Mereka hanya anak-anak malang yang berada di lingkungan yang salah, dilingkupi depresi."

"Ya, teruslah bela mereka," sahut James tak peduli.

"Saya sungguh tak habis pikir. Polisi macam apakah Anda? Jangan hanya lihat permasalahan dari sudut pandang Anda, Tuan Johnson. Terkadang kau perlu melihat dari sudut pandang mereka juga." Kali ini James melirik tajam Dokter Ruby atas kata-kata menusuk itu.

"Kurasa tak perlu, Dokter. Ketika anak-anak itu ditangkap lagi, mereka perlu diisolasi di tempat khusus. Tak ada belas kasihan untuk mereka."

"Terserah Anda, Johnson. Sekarang tinggal saya tanya saja, bagaimana menurut Anda seorang anak, ditindas selama bertahun-tahun lamanya tanpa mengetahui di mana letak kesalahannya. Lalu memendam dendam, hingga akhirnya tak mampu lagi menahannya? Sadarlah, Tuan Johnson. Bukan salah mereka bisa seperti ini," ucap Dokter Ruby panjang lebar.

"Salah mereka atau bukan tidaklah penting. Yang kubicarakan saat ini adalah kriminal yang telah mereka lakukan. Bahwa kau melanggar kesepakatan yang telah pihak kepolisian dan pusat psikologi setujui, untuk tidak memberi tahu apa diagnosis mereka kepada diri mereka sendiri." Mata James berkilat dingin. "Coba kutanya, apa juga yang dikatakan si bocah sialan Kimberly katakana padamu? Ia merindukan mendiang ibunya yang malang? Ia yatim-piatu di usia yang begitu muda, sebatang kara dengan kakaknya? Begitu?

"Mereka berdua sama saja. Mereka manipulator. Lihat apa yang mereka berhasil lakukan padamu! Mereka berhasil memanipulasimu dengan mengais belas kasihan dari hati nuranimu yang menyedihkan itu, Dokter. Yang akhirnya menimbulkan rasa iba serta sayang. Aku sungguh prihatin padamu, Dokter." James menatapnya penuh kemuakan.

"Saya tak akan menyangkal itu, Johnson. Bahwa saya menyayangi dan merasa iba pada mereka, saya tak akan menyangkalnya. Saya menyayangi mereka," ujar Dokter Ruby dengan dalam. "Tetapi apa mereka memanipulasi saya? Maka jawabannya tidak. Saya yakin betul itu."

"Mereka sosiopat muda, dengan kecerdasan tinggi, tentu mereka manipulator," desis James. "Buka matamu lebar-lebar! Mereka pembunuh! Telah membunuh tak hanya satu jiwa melainkan dua puluh tiga! Karena kelalaianmu pula, mereka berhasil kabur. Sudah merupakan tugasmu untuk meyakinkan mereka bahwa pusat psikologi sialan itu merupakan tempat yang tepat untuk mereka. Seharusnya kau yang memanipulasi mereka, bukan kebalikannya."

"Ya, saya memberi tahu Ezra apa diagnosisnya. Lalu apa?" Dokter Ruby kini menatap tajam James, mulai kehabisan kesabaran. "Tapi bukan berarti mereka berhasil kabur juga merupakan salah saya. Jika saja Anda jauh lebih melunakkan diri dalam menghadapi mereka terutama Ezra, mereka akan menurut."

"Oh, jadi sekarang merupakan salah kepolisian? Mohon maaf, Dokter. Tapi perlu kuingatkan, bahwa yang kami lakukan adalah demi melindungi London dari mereka, monster kecil yang seharusnya pantas mati."

"Saya seorang psikolog, dan menurut Anda saya tak tahu apa yang tengah terjadi? Ezra selalu menatapmu penuh kebencian setiap kali Anda datang untuk mengecek keadaan. Sorot matanya tak wajar, tak seperti sekadar kebencian," balas Dokter Ruby. "Ia menatap Anda penuh dengan nafsu untuk menghabisimu. Dan Anda pikir hal itu karena apa?"

James yang kali ini terdiam. Dokter Ruby pun melanjutkan, "Seharusnya kalian para polisi perlu mengerti juga. Mereka korban penindasan, baru saja kehilangan ibunya, memendam dendam. Persetan bahwa mereka telah membunuh, mereka tetap perlu pertolongan."

"Aku sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiranmu, Dokter." James menggelengkan kepala.

"Anda bilang mereka monster karena telah membunuh dua puluh tiga orang malang? Saya rasa justru Andalah yang lebih cocok disebut sebagai monster," balas Dokter Ruby dengan menusuk. "Apa hanya itu yang perlu dibicarakan? Bahwa saya melanggar beberapa kesepakatan dan gagal dalam pekerjaan saya? Baiklah, itu memang benar. Jika hanya itu, saya permisi."

Wanita itu bangkit, kemudian melangkah menuju pintu.

"Aku akan menghabisi mereka. Aku bersumpah, Dokter."

Dokter Ruby menghentikan langkahnya, ia menoleh lagi. "Silakan. Tetapi biarkan saya memperingati Anda, Johnson. Remaja itu, Ezra. Ia jauh lebih cerdik dari yang Anda bayangkan. Ia... jauh lebih cerdas dari hasil tes IQ-nya sendiri. Anda tak akan bisa mengalahkannya. Saya tak berada di pihak mana pun, tetapi hanya memperingati Anda, Johnson. Mereka adalah kuda liar yang sulit dijinakkan."

Lalu ia berlalu begitu saja, meninggalkan James yang menyeringai.

##

Who loves Dr. Ruby here? :")

I Am a Killer [versi revisi]Onde histórias criam vida. Descubra agora