Part 3

2.4K 228 171
                                    

Begitu sampai di rumah, rasanya sangat janggal tak ada mobil silver milik ibuku yang biasa terparkir di halaman rumah. Tentu saja mobilnya sudah tidak ada, selain Ibu juga sudah meninggal, mobil miliknya juga rusak parah. Lagi-lagi, rasa sakit sangat menohok hatiku jika mengingat kenyataan Ibu telah tiada.

Perutku sedikit bergetar, aku sangat lapar. Kubuka pintu kulkas, tapi tidak ada apa-apa, hanya ada dua kaleng coke dan sedikit sup daging yang masih dingin di dalam kulkas bekas sarapan tadi pagi. Ibuku belum belanja mingguan waktu itu, karena itu hanya ada sedikit makanan yang tersisa di kulkas dan lemari makanan. Kuberi makan Brandon setelah memesan pizza. Sembari menatap Brandon yang sedang makan dengan lahap, tiba-tiba aku berpikir, mengapa aku tidak melatih Brandon agar dia bisa membunuh juga? Jika aku berhasil melatihnya, itu pasti akan semakin menarik.

Aku menatap Kimberly yang terduduk di atas sofa. Kedua telapak tangannya menutup sebagian wajahnya, sementara hoodie putihnya ia lempar dan kini teronggok begitu saja di lantai. Kudengar helaan napasnya beberapa kali.

"Hey," panggilku. "Kau baik-baik saja?"

Kimberly menghela napasnya berat kali ini, terlihat begitu gelisah. "Aku baru saja membunuh orang, Ezra," lirihnya. "Aku seorang pembunuh. Aku seorang pembunuh. Astaga."

Aku ikut duduk di sebelahnya, mengusap perlahan punggungnya. "Kau akan terbiasa. Tidak perlu kau pikirkan."

Ia akhirnya melepaskan tangannya dari wajah, menatapku. "Apa sebelumnya kau sudah pernah melakukannya? Maksudku, sebelum Bobby?"

Aku menggeleng. "Bobby adalah yang pertama. Awalnya aku juga merasa tidak nyaman, tetapi kemudian aku terbiasa. Itu sebabnya aku tidak lagi ragu untuk membunuh Dan dan Jasp."

Kimberly hanya terdiam. Ia menatap lurus ke depan.

Aku mengusap rambutnya lembut. "Ayolah, jangan kau pikirkan terus. Semuanya akan baik-baik saja."

Kimberly tersenyum kecil setelah itu, sementara aku pergi ke kamar. Kurebahkan diriku di atas ranjang dan menghela napas seraya melirik hoodie abu-abuku yang telah bersimbah darah. Aku tahu pasti Ibu kecewa dengan apa yang telah aku lakukan. Namun aku membunuh karena aku telah kehilangan kesabaran. Aku sudah cukup bersabar selama bertahun-tahun, ditindas oleh mereka, tak memiliki teman karena mereka mengancam siapa pun yang berani berteman denganku akan ditindas juga. Bahkan beberapa anak lainnya juga ada yang ikut menindasku karena dihasut oleh mereka. Aku hanya manusia biasa yang memiliki batas kesabaran. Aku juga memiliki dendam. Mereka yang membuatku kehabisan kesabaran, menorehkan luka mendalam, menumbuhkan dendam pada hati dan jiwaku. Aku tak dapat menahan diriku untuk membunuh mereka. Sudah lama aku selalu menahan gejolak untuk mencekik mereka setiap kali mereka mengata-ngataiku, berusaha mencelakaiku ketika latihan basket, menyipratkan minuman pada pakaianku, atau menyeretku ke gudang sekolah untuk berkelahi. Kali ini, aku tak dapat menahannya lagi. Aku memutuskan untuk mendengarkan iblis dalam hatiku.

Kupikir, bagaimana jika aku membunuh penindas di sekolahku atau sekolah lain? Jika begitu, pasti jumlah penindasan di negara ini akan semakin berkurang. Kampanye-kampanye atau gerakan menghentikan penindasan? Pfft, sama sekali tak berpengaruh, kawan. Mereka tak akan berhenti menindasmu sebelum kau menunjukkan siapa dirimu sebenarnya dan membuat mereka benar-benar jera. Menghilangkan penindasan dengan membunuh memang salah. Tetapi cara efektif yang paling cepat menurutku hanya itu: membunuh para penindas. Orang-orang sangat menyebalkan, mereka selalu menghakimi pembunuhan dengan segala yang buruk. Padahal terkadang, tak semua pembunuhan dilandasi niat yang buruk. Para manusia normallah yang tidak tahu diri. Seharusnya mereka berterima kasih kepada para pembunuh, karena orang yang mereka benci bisa meninggal dan jumlah penduduk menurun, mereka tidak tahu terima kasih.

I Am a Killer [versi revisi]Where stories live. Discover now