Part 5

1.2K 189 107
                                    

Aku mengocok dadu dengan malas kemudian melemparnya. Sudah tiga kali aku dan Kimberly mengulang permainan monopoli. Sementara itu televisi menyala, barangkali ada acara yang menarik dan mungkin kami bisa menontonnya. Setelah makan malam yang amat sangat tak menarik, kami berdua sedari tadi hanya bermain. Entah itu kartu UNO, catur, playstation, dan kali ini monopoli. Dan tak ada satu pun dari semua itu yang berhasil menghilangkan rasa bosanku.

Kemarin pun sama dengan hari ini, kami hanya berdiam diri di rumah. Dan kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pergi tidur? Aku sama sekali tak mengantuk. Kurasa malam ini akan benar-benar menjadi malam yang membosankan.

"Serius, mengapa tidak ada acara televisi yang bagus? Semuanya film payah!" Kimberly menggerutu sambil menggonta-ganti acara televisi.

Kulirik adikku itu, kemudian mengembuskan napasku bosan. "Aku bosan, mau bersenang-senang?"

Ia tak menjawab, air mukanya berubah. Kukira Kimberly sudah terbiasa, rupanya hingga sekarang ia masih belum bisa menerima dirinya.

"Baiklah, firasat aneh apa yang kau rasakan?" tanyaku.

Kimberly tertegun, ia membalas, "Aku tak tahu. Yang jelas sangat aneh."

"Seperti kakak, seperti adik, aku juga merasakan hal yang sama. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres." Kami berdua saling berpandangan, namun kemudian, Kimberly menaikkan bahunya.

"Ah sudahlah. Ayo kita pergi keluar." Ia menyahut sambil bangkit berdiri.

Aku tercenung. Aku hidup selama lima tahun lamanya menjadi satu-satunya makhluk adam di rumahku dan hingga kini aku tak mengerti perempuan. Tadi ragu, sekarang justru malah mengajakku keluar. Tak mau ambil pusing, kukenakan hoodie abu-abu segera. Kimberly turun dari lantai atas sambil menenteng hoodie putih dan pisaunya. Ia meletakkan bilah itu di atas meja kemudian memakai jaketnya.

Tatapan tak suka kutujukan padanya. "Sudah kubilang, jangan pakai hoodie itu lagi."

"Kau tidak bisa melarangku. Kau bukan Ayah atau Ibu, kau hanya kakakku, jadi kau tidak bisa mengatur-ngaturku."

Aku tergelak, kemudian mengetuk keningnya dengan telunjuk. "Kimberly, adik tersayangku, apa kau lupa? Ketika Ayah dan Ibu meninggal, otomatis akulah yang bertanggung jawab atasmu dan berhak mengatur-ngaturmu, karena aku yang tertua di sini. Ah, untung akulah yang menjadi kakakmu, bukan kau."

Kimberly memutar bola matanya. "Aku akan mengganti hoodie-ku, jika...."

"Jika apa? Tidak usah sok misterius."

"Jika kau yang membelikanku hoodie."

"Bloody hell, tidak akan. Tidak akan dalam jutaan tahun. Aku menabung untuk membeli kamera."

Baiklah, tak akan kujelaskan secara rinci kejadian selanjutnya. Kami menemukan tiga anak sialan. Kusenggol bahu Kimberly saat itu, dan bertanya, "Bagaimana kalau mereka?" Kimberly memandang ke arah yang kumaksud, terdiam sejenak, kemudian mengangguk setuju.

Tak perlu waktu lama, hanya beberapa menit kemudian, mereka sudah kami habisi. Satu jasad

Ketika aku dan Kimberly hendak memasukan mayat terakhir ke dalam tempat sampah, samar-samar terdengar sesuatu. Kami saling berpandangan sejenak, namun suara-suara itu semakin lama semakin jelas. Sial, sirene polisi. Oh tidak. Ini mimpi burukku yang paling buruk. Buru-buru kami melempar mayat itu dan berlari kabur dari gang.

Dapat kulihat beberapa polisi keluar dari mobilnya dan mengeluarkan pistol. Mereka meneriaki diriku dan Kimberly untuk berhenti, namun persetan, kami akan terus berlari. Baru sebentar melarikan diri, kami langsung berhenti ketika seorang pria menghadang kami dalam jarak tiga hingga empat meter. Brandon menggonggongi pria itu dengan agresif, ia berdiri di hadapan kami seakan melindungi. Namun tiba-tiba, pria itu mengeluarkan pistol, dan saat itu juga, aku langsung mencengkeram lengan Kimberly, dan menariknya ke kanan untuk kembali berlari.

I Am a Killer [versi revisi]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt