2.5. LunatiC : EpiloG

119 16 3
                                    

"Kau baik-baik saja, Erick?"

Aku mengangguk saat Leo menanyakan hal itu. Aku baik-baik saja, ucapku dalam hati sambil membaca selembar sobekan koran kusut yang selalu kubawa kemana pun aku pergi.

"Kau terlihat aneh akhir-akhir ini, Erick" Katanya dengan raut wajah sedih.

"Semua sudah berakhir, ini sudah satu minggu berlalu, semangatlah!" Katanya mencoba seceria mungkin.

"Aku tidak bisa." Kataku lemah, "Aku tidak bisa menjalani hidup dengan bahagia jika teman-temanku tersiksa dalam kubur"

Ya, semua teman-temanku mati. Termasuk Nina. Setelah mendengar tentang kematian Dave dan Gilang, keesokan harinya aku pergi ke universitas untuk menemui Nina di kelasnya. Tapi, yang ku lihat hanyalah bangku kosong dengan sebuket bunga dan mata-mata memerah yang mengeluarkan air mata.

"Ayolah, mereka tidak disiksa! Kau tidak tahu apa yang terjadi, kawan!"

Aku menatapnya tajam, seketika Leo berjalan mundur.

"Aku tahu, karena aku mendengar mereka berbicara padaku! 'Erick, aku takut,', 'Semua tubuhku hancur', 'Erick, kami merindukanmu' tidakkah kau mendengarnya?" Ucapku. Leo menatapku takut lalu meninggalkanku sendiri.

"Kau sudah gila, Erick"

"KAU YANG GILA!" Aku berteriak. Orang-orang di kampus menatapku, lalu menundukkan pandangannya. Mereka berjalan melewatiku dan aku bisa mendengar mereka berbisik. Suara mereka terdengar samar tapi mampu membuat kepalaku sakit. Sakit ini sudah terlalu sering muncul, dan aku tidak tahu kenapa.

"Hei, Erick! Dave menggangguku lagi!" Itu suara Rudi.

Aku berjalan pelan mencari asal suara itu.

"Hentikan, Dave!"

Berjalan di lorong gedung universitas dengan mata-mata yang melihat kearahku.

"Kalian berdua diamlah! Erick sedang sakit!" Suara Nina.

Kepalaku terasa sangat berat.

"Kau sakit? Maafkan aku..."

Tidak, Rika. Jangan minta maaf.

Aku berpegangan pada dinding untuk membantuku berjalan. Keringat menetes dari dahiku. Kakiku terasa lemas.

"Bagaimana rasanya, Erick? Menyakitkan? Aku juga ingin mencobanya!"

"Idiot, Dave!"

"Diam kau, Psikopat!"

"Tidak lucu!"

"Aku memang tidak sedang melucu!"

Diam-diam tertawa kecil mendengar mereka berdebat. Tapi, dimana mereka? Kenapa tidak bisa kulihat?

"Kalian, DIAMLAH!"

Kau marah, Nina?

"Kalian berdua tetap tidak berubah bahkan setelah kalian mati"

Mati?

"Erick, kapan kau kesini?"

Aku berhenti saat merasakan desiran angin kencang yang berhembus. Berdiri di ujung atap gedung, Air mata mengalir deras di pipi.

"Kami merindukanmu"

"KENAPA KALIAN TERUS MENGGANGGUKU?" Aku berteriak. Suaraku terbawa angin, terdengar samar dan lemah.

"AKU TIDAK BISA LAGI HIDUP SEPERTI INI! AKU LELAH MENDENGAR SUARA-SUARA INI! BERHENTILAH MENGGANGGUKU! BERHENTILAH!"

"Maafkan aku, Erick..."

Diam, Rika.

"Kami hanya ingin bertemu denganmu"

Deg.

Dunia mendadak berhenti.

Aku mencengkram kepalaku yang terasa sangat sakit. Aku memandang kebawah. Orang-orang telah berkumpul. Berteriak memanggil namaku. Tapi, teriakan mereka tenggelam. Tenggelam oleh suara-suara yang muncul dikepalaku.

Penglihatanku kabur oleh air mata yang tak berhenti menetes.

"Kami ingin bertemu denganmu"

"Ingin bertemu..."

Hentikan semua ini.

"Bertemu..."

"AAAAAAAAAAARRRGGHHHH"

Teriakanku jatuh bersama diriku yang terombang ambing di udara. Menghantam tanah sebelum semuanya menjadi gelap.

.

.

"Aku juga sangat merindukan kalian"

.

.

END

Maaf kalo endingnya mengecewakan T.T *kabur...*

Kritik dan Saran sangat diperlukan^^

LunatiC : Deep World Dark Side [END]Where stories live. Discover now