9. Insiden Malam Minggu

93 12 2
                                    

"Aku Muak Dengan Permainan Takdir Ini. Aku Bosan Dengan Segala Kepalsuan Dari Mereka Yang Penuh Kepalsuan"

----- Senja Ellendina -----

     Senja menghela napas keras ketika Handphone nya berdering untuk kesekian kalinya. Si penelpon begitu gigih untuk terus menelpon padahal Senja telah menolak dengan tegas segala permintaan - permintaan si penelpon diujung sambungan.

"Halo, "ucap Senja dengan intonasi malas.

"Tolong datanglah, " pinta suara diseberang sana.

"Maaf Paman, Senja gak bisa, "tolak Senja dengan sopan.

"Tapi, ini adalah permintaan dari beliau, "

"Maaf Paman, Senja gak mau datang kesana lagi, "

"Tolonglah, beliau dalam keadaan kritis, "pinta seseorang diseberang sana dengan suara memelas.

"Senja gak mau melihat mereka lagi. Senja muak dengan mereka! Jadi Senja gak akan ke sana lagi!  "tolak Senja tegas.

"Tolonglah, hanya 2 jam saja. Beliau selalu menyebut namamu. Beliau ingin mengatakan sesuatu padamu, "

"Hah! Mengatakan sesuatu? Mau apa lagi? Bukannya semua kebenaran hanya sebuah omong kosong bagi mereka?! "

"Tolonglah,  Paman mohon padamu sebagai Pamanmu bukan sebagai ajudan beliau, "pintanya.

"Maaf Paman, Senja tetap pada keputusan Senja. Senja tetap menghargai Paman, tapi untuk ke sana Senja tidak bisa, "balas Senja.

     Senja melemparkan sembarangan Hanphonenya di atas kasur queen size berseprai putih miliknya. Kemarahan dan kekecewaan masih menguasai Senja ketika mengingat kejadian beberapa tahun silam yang membuat ia menjadi tertutup dan selalu bermimpi buruk setiap malam. Senja ingin sekali menghilang dan lenyap dari dunia untuk selamanya agar semua masalahnya hilang. Namun, Senja sadar bahwa ia tidak boleh seperti itu. Ia harus terus kuat demi Mentari, sang mama. Mamanya kerja keras banting tulang untuk Senja dan Senja tidak tega melihat mamanya bersedih karena melihat putri semata wayang miliknya yang terus terkurung dalam kesedihan dan amarah.

     Senja menghela napas kasar sambil menatap kearah langit cerah penuh bintang. Rasa sesak mulai memenuhi rongga dada Senja. Senja membenci semuanya. Senja masih ingat saat dimana ia diolok-olok oleh keluarganya. Ia masih ingat dengan jelas saat dimana ia hanya dianggap sebagai 'pembohong dan pembual' oleh mereka. Senja masih ingat setiap ekspresi sinis yang mereka berikan saat mereka tidak pernah mau percaya pada setiap perkataannya yang saat itu masih berusia 10 tahun. Senja masih ingat bagaimana perlakuan mereka pada dirinya saat ia berusaha untuk menggapai tangan sang kakek yang saat ini sedang berjuang antara hidup dan mati.
Setelah semua sakit dan celaan yang telah diterima, Senja tidak mau lagi menginjakkan kakinya di tempat iblis itu.

"Gak baik bengong tengah malam, "ucap Langit mengagetkan Senja.

"Habis nangis? "tanya Langit lalu duduk disamping Senja.

"Bukan urusan lo! "balas Senja ketus sedangkan Langit hanya menghela napas kecil. Langit heran, bagaimana Tuhan bisa menciptakan manusia seperti gadis disampingnya yang jarang atau tidak pernah sama sekali terlihat bahagia.

"Cantik langitnya ya, "ucap Langit membuka obrolan setelah hening beberapa saat. Saat ini mereka sedang berada di gazebo yang ada ditaman belakang rumah Senja dan tepat didepan gazebo itu ada kolam ikan bergaya seperti kolam ikan di negara Jepang.

"Biasa aja, "sahut Senja seadanya. Dan rasanya Senja ingin sekali mengusir Langit karena saat ini dirinya hanya butuh ketenangan. Namun, Senja enggan melakukannya karena akan sia-sia saja mengusir manusia seperti Langit.

Mengejar Senja (Complete) Where stories live. Discover now