High

963 134 4
                                    

Sepanjang sore itu, satu-satunya hal yang menarik bagi Yifan adalah kaleng bir di tangannya. Ia sudah menghabiskan hampir setengah dari isinya sehingga kaleng itu terasa ringan ketika ia memutar-mutarkannya. Angin senja berhembus dan membuat daun-daun di pepohonan berdesis. Kalau tidak salah menghitung, Yifan baru seminggu ini secara resmi masuk sekolah di Korea setelah kepindahannya dari Kanada dan ia sudah menemukan hal-hal yang cukup mencengangkan baginya. Park Chanyeol, contohnya.
Belum selesai rasa herannya tentang bagaimana pemuda itu bisa mendapatkan barang-barang ilegal seperti rokok dan bir dengan mudah mengingat usia mereka yang masih belum legal untuk membeli barang-barang itu dengan terbuka, Chanyeol baru saja mengatakan bahwa ia gay.
"Aku gay." Chanyeol mengulangi pernyataannya.
Yifan masih belum tahu bagaimana ia harus bereaksi terhadapnya dan memilih untuk meneguk birnya sampai habis.
"Kenapa kau memberitahu aku?" Tanya Yifan pada akhirnya.
Chanyeol mendengus. Ia sudah menduga bahwa Yifan adalah orang yang tidak akan peduli dengan hal-hal yang tidak menguntungkan dirinya sendiri, tapi ia masih tidak percaya dengan reaksi pemuda di sampingnya yang seperti tidak terkejut sama sekali.
"Aku hanya ingin kau tahu, itu saja." Jawab Chanyeol menggembungkan pipinya.
"Tch." Yifan menarik sudut bibirnya.
"Teman-temanku sebelumnya akan segera menyingkir begitu tahu tentang hal itu." Ujar Chanyeol setengah berbisik, tapi dengan keadaan sekitar mereka yang sepi, Yifan bisa cukup mendengarnya.
"Jadi semua temanmu tahu?" Yifan menatap Chanyeol yang masih menggembungkan pipinya dengan kepala tertunduk.
"Jongin tahu, dan ku rasa ia sudah memberitahu hampir seisi sekolah tentang hal itu." Chanyeol membalas tatapan Yifan.
Itulah sebabnya orang-orang menatapnya dengan aneh ketika ia berjalan bersama Chanyeol. Yifan berusaha mencerna hal-hal yang ia lewati dalam seminggu ini.
Lama keduanya hanya terdiam hingga dering ponsel milik Chanyeol memecahkan keheningkan. Pemuda itu mengerutkan dahinya melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Halo?" Sapa Chanyeol dengan bahasa baku untuk menyapa orang yang lebih tua darinya.
Chanyeol terdiam sebelum menjawab pelan."Iya, aku akan segera sampai rumah."
Pemuda itu kembali menyimpan ponselnya di saku celana dan beranjak dari tempatnya duduk.
"Aku tidak tahu jika apa yang baru saja kuceritakan akan berpengaruh padamu, tapi aku harus pergi sekarang."
"Kenapa kau memberitahu aku?" Tanya Yifan yang sepertinya masih belum puas dengan jawaban Chanyeol sebelumnya.
Chanyeol memutar bola matanya sebelum kembali duduk di samping Yifan, kali ini menghadapkan tubuhnya pada pemuda yang ia kira lebih tua darinya itu.
"Apa kau benar-benar mau mendengar jawaban yang sebenarnya?"
Yifan menangkap tatapan jahil Chanyeol yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Aku benar -benar ingin kau tahu kalau aku ini gay. Dan sejak awal, aku pikir akan menyenangkan untuk bermain-main dengan orang asing. Meskipun pada akhirnya kau sekarang tidak asing lagi. Ku pikir aku juga sedang menguji keberuntunganku untuk mendapatkan seseorang sepertimu." Jelas Chanyeol tanpa mengalihkan tatapannya pada Yifan.
Sementara itu Yifan yakin bahwa saat ini Chanyeol hanya sedang menggodanya. Telinga lebar Chanyeol terlihat memerah ketika Yifan mengalihkan pandangannya.
"Apa kau sekarang sedang menggodaku?"
"Bagaimana kalau iya, dan bagaimana kalau tidak?"
"Bye, Chanyeol." Yifan mendorong tubuh Chanyeol agar menyingkir dari hadapannya sementara ia kini berdiri.
"Jadi kau ingin berteman denganku atau tidak? Kau bukan tipeku, oke." Tanya Chanyeol dengan tatapan tidak percaya. Yifan yang sudah berjalan menjauh akhirnya berhenti dan mendapati Chanyeol masih tetap pada tempatnya. Pemuda itu benar-benar mudah sekali berubah pikiran.
"Aku tidak punya pilihan lain, kan?"
Chanyeol tersenyum menampakkan gigi putih yang berjejer rapi dengan lesung pipit di pipi kirinya.
.
.
.
"Ibu kira jam sekolah selesai sejak jam 3 tadi."
Kalimat itu yang menyambut Yifan ketika pemuda itu memasuki rumahnya. Mrs. Wu tampak sedang menyiapkan makan malam.
"Aku mampir sebentar di jalan." Jawab Yifan sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 18.20.
"Ibu tahu kau akan baik-baik saja di sini, tapi Korea tidak sama dengan Kanada, Yifan. Ibu ingin kau lebih serius belajar di sini."
Yifan meletakkan tasnya begitu saja ketika ia menarik kursi di meja makan. Apa yang baru saja dikatakan oleh Mrs. Wu sepertinya terdengar asing bagi Yifan. Ibunya bukan tipe orang yang cerewet untuk urusan akademiknya. Bahkan sebelum mereka pindah ke Kanada dan masih menetap di Guangzhou, Ibunya akan memberikan kebebasan padanya soal sekolah. Yifan bukan murid jenius, tapi ia juga tidak seburuk itu di sekolahnya.
"Cuci tanganmu dulu." Kata Mrs. Wu ketika Yifan sudah bersiap untuk menyantap omelet buatannya. Tanpa berkata apapun, Yifan melakukan apa yang diperintahkan ibunya.
"Mulai besok Ibu akan bekerja lembur dan pulang lebih lambat. Ibu akan berusaha untuk menyiapkan makanan untukmu sebelum berangkat jadi kau bisa memanaskannya sendiri nanti."
"Hm."
Yifan tahu betapa kerasnya sang Ibu berusaha untuk berbicara dengannya. Tetapi entah kenapa Yifan tidak bisa melakukan hal yang sama. Sejak awal mereka memang tidak terlalu dekat, jadi sungguh aneh rasanya jika kini Ibunya berusaha mati-matian untuk membuat keadaan berubah.
.
.
.
Kukkie menggonggong ketika Chanyeol memasuki gerbang rumahnya. Anjing itu menjilat telapak tangan Chanyeol yang akan menggaruk dagunya.
"Anyeong, Kukkie. Kau sudah makan sore ini?" Tanya Chanyeol yang kini berjongkok di hadapan anjingnya. Kukkie menggonggong seperti menjawab pertanyaan Chanyeol.
"Good boy. Sekarang aku harus masuk sebelum Aboeji membunuhku, oke?" Chanyeol menggiring Kukkie ke dalam kandang di halaman rumahnya.
Dan benar seperti dugaan Chanyeol, sang Ayah sudah menunggu di ruang keluarga sambil membaca koran sore di ipadnya. Chanyeol berhenti di hadapan Ayahnya dan membungkuk 90 derajat.
"Aku pulang." Kata Chanyeol ketika sang Ayah meletakkan ipadnya.
"Duduk." Sang Ayah menunjuk melalui tatapan matanya agar Chanyeol duduk di kursi di depan Ayahnya.
"Kenapa kau baru pulang? Apa kau membuat masalah lagi di sekolah?" Tanya Mr. Park pada putra semata wayangnya itu.
Chanyeol menundukkan kepalanya dan menggeleng.
"Lalu kenapa kau membolos kelas Tuan Kim kemarin?"
Kepala Chanyeol sibuk mencari-cari alasan untuk berbohong pada Ayahnya.
"Aku sakit perut jadi aku menghabiskan waktuku di toilet." Ujar Chanyeol pelan.
"Kau sakit perut lalu terjatuh di kelas olahraga dan pulang dengan babak belur?"
Chanyeol menelan ludahnya.
"Hanya karena aku diam bukan berarti aku tidak tahu apa-apa, Chanyeol."
Chanyeol semakin menundukkan kepalanya.
"Maaf, Abeoji. Tapi aku baik-baik saja." Yang Chanyeol maksud dengan baik-baik saja adalah ia tidak membuat masalah apapun, karena ia tahu Ayahnya tidak akan peduli dengan keadaannya.
"Apa kau masih meminum obatmu?"
Chanyeol mengangguk.
"Lalu apa ini?" Chanyeol terlonjak dari tempat duduknya ketika Mr. Park melemparkan sekantung plastik pil berwarna biru padanya.
Jadi selain pertanyaan-pertanyaan itu, Ayahnya juga sudah menyiapkan barang bukti dengan menggeledah kamarnya.
"Minum di hadapanku." Perintah Mr. Park dengan tegas.
Chanyeol menggeleng lemah. Ia seperti sudah tahu hasil dari penolakannya.
"Park Chanyeol."
Dengan tangan gemetar, Chanyeol membuka kantung plastik itu dan mengambil sebuah pil. Mr. Park mengawasi setiap gerakan tangan Chanyeol yang akhirnya meletakkan pil itu di mulutnya. Chanyeol menelannya dengan susah payah. Ia kemudian membuka mulutnya untuk menunjukkan pada sang Ayah bahwa pil itu sudah masuk ke dalam tubuhnya.
"Sekarang kembali ke kamarmu. Aku akan menyiapkan janji dengan Dokter Choi untukmu."
Chanyeol membungkuk di hadapan Ayahnya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dengan susah payah Chanyeol memasukkan jarinya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan pil yang tadi ia telan.
.
.
.
"Helo, Vancouver." Sapa Chanyeol yang tidak seperti biasanya datang terlambat di tempat di mana ia dan Yifan biasa bertemu untuk berangkat ke sekolah. Yifan mengangkat bahunya. Ia sepertinya harus membiasakan diri untuk mendengar panggilan itu dari Chanyeol.
"Rumahmu di sekitar sini?" Tanya Yifan ketika mereka berdua mulai berjalan menyusuri jalan kecil di area taman.
"Kenapa? Kau mau datang ke rumahku?" Balas Chanyeol yang kali ini menggganti jaket hitam adidasnya dengan sebuah sweater berwarna pink.
Yifan mendengus mendengar jawaban Chanyeol.
"Aku tidak terlalu suka olahraga jadi sebagai gantinya ku kira berangkat sekolah dengan berjalan kaki adalah sebuah ide yang bagus. Apalagi kalau aku berjalan denganmu."
Yifan tiba-tiba tersandung sebuah kerikil hingga membuat tubuhnya sedikit terhuyung bersamaan dengan penjelasan Chanyeol.
Pemuda berambut hitam itu tertawa sambil menepukkan tangannya melihat tubuh kikuk Yifan.
"Tidak lucu." Tukas Yifan yang semakin membuat Chanyeol terpingkal.
"Come on, Man." Chanyeol menepuk bahu Yifan agar pemuda itu sedikit rileks dengan guyonannya.
"Terakhir kali ku lihat kau di antar menggunakan mobil. Jadi, bukankah lebih menyenangkan seperti itu?" Tanya Yifan lagi. Ia bukan tipe orang yang selalu ingin tahu dengan kehidupan orang lain, tapi saat ini ia tidak bisa menyimpan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benaknya.
"Yeah. Itu Ayahku. Dan percaya padaku, berada satu mobil bersamanya dalam beberapa menit adalah mimpi buruk." Jawab Chanyeol dengan tawa dalam nada bicaranya.
"Hm." Yifan menelan kembali beberapa pertanyaan yang sudah akan terlontar dari mulutnya.
.
.
.
Park Chanyeol yang ada di jalan tadi sungguh berbeda dengan Park Chanyeol yang ada di sekolah sekarang. Setidaknya itu yang Yifan rasakan ketika ia memperhatikan gelagat Chanyeol yang mulai berubah menjadi lebih tenang dan diam seolah ia berusaha untuk membuat dirinya 'tidak terlihat'. Ia juga menjaga jarak dengan Yifan ketika mereka berjalan di koridor. Namun meskipun begitu, postur tubuh keduanya yang tinggi membuat keduanya sulit untuk tidak menarik perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Yifan tidak terlalu mempermasalahkan tatapan-tatapan yang mereka tujukan untuknya, tapi sungguh aneh rasanya kalau di luar sana Chanyeol bisa tertawa hingga seluruh tubuhnya kejang sementara di sini ia harus menahan diri.
Wu Yifan tidak sedang berusaha mengerti Chanyeol, tapi ia bisa mengikuti alur yang sudah Chanyeol tetapkan itu. Jika ia ingin mereka berdua tampak tidak saling kenal di sekolah, maka ia tidak keberatan.
.
.
.
Tetapi memang kenyataan tidak semudah yang Yifan bayangkan. Ketika ia kembali ke kelas setelah istirahat, ia mendapati buku tulisnya sudah penuh dengan coretan. Seperti sebuah peringatan bahwa itu adalah permulaan, isi coretan itu penuh dengan kata-kata makian untuk seseorang seperti Chanyeol, namun coretan itu ditujukan untuk dirinya.
Yifan merobek bagian buku tulisnya yang penuh coretan itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia memastikan bahwa setiap murid di kelasnya melihat. Yifan tidak takut dengan teman-teman di sekolahnya, tapi Yifan sungguh tidak mau repot dengan masalah yang nanti akan ditimbulkannya. Yifan menoleh ke samping mejanya dan mendapati Chanyeol sedang pura-pura sibuk bermain dengan ponselnya.
Chanyeol yang merasa diperhatikan pun mengalihkan pandangan dari ponselnya dan menatap Yifan. Ada perasaan menyesal dari tatapannya itu, dan Yifan merasa mau tidak mau tersenyum kecil untuk meyakinkan Chanyeol.

PARADISEजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें